THE SOLDIER RECON 8 : A LONELY SOLDIER

Dengan susah payah gue melarikan diri dari kejaran pasukan musuh. Jumlahnya, tentu lebih banyak dari gue. Yang ada dipikiran gue bukan bagaimana gue sampai di tempat persembunyian rahasia, tapi bagaimana caranya gue bisa lolos dari kejaran mereka. Disamping itu, persediaan peluru juga mulai menipis menuju habis.

Di sepanjang Jalan Mohammad Toha tidak ada tempat sembunyi yg cukup luas. Hanya ada gang-gang kecil saja. Jujur saja, gue benar-benar butuh rekan disini untuk sebagai backing. Untungnya, gue bisa dibilang 98% kenal sama daerah ini, jadi setidaknya tahu beberapa spot yg aman. Untuk saat ini, posisi gue lagi di gang H. Akhsan, lokasi dimana SMA gue berada yg tentu bisa dijadikan tempat bermalam yg cukup aman.

“Sial tangan gue lecet” telapak tangan gue lecet parah, “Sejak kapan pager sekolah dipasang kawat berduri ??”

Bermodalkan senter yg ada di tas, gue berkeliling sekolah gue dulu. Pintu-pintu kelas terbuka dengan sangat lebar dan masih ada tas siswa-siswi disitu. Gue sangat yakin mereka terpaksa meninggalkan barang-barang mereka untuk melarikan diri.

Gue kembali berjalan sambil mencari ruangan yg lokasinya ada ditengah-tengah sekolah, supaya gue bisa menyalakan lampu dan tidak ketahuan oleh pasukan musuh. Dan gue tersadar, yg ada ditengah-tengah sekolah adalah lapangan upacara.

“NGUING! NGUING! NGUING!” terdengar suara sirene dari luar sekolah. Pasukan musuh masih mencari-cari gue. Tapi mereka berlalu begitu saja. Berarti tempat ini fix aman, dengan satu kondisi, tidak ada lampu sama sekali.

Setelah memastikan mereka berlalu, gue kembali mencari ruangan yg pas, dan pilihan gue adalah ruang guru. Kenapa ruang guru? Karena ruang guru letaknya ada tengah-tengah sekolah. Ngga tengah-tengah amat sih, tapi sudahlah. Gue menyalakan beberapa lampu di ruang guru. Terlihat masih ada tas-tas dan pekerjaan yg ditinggalkan.

Gue memutuskan untuk istirahat sejenak disini. Gue pun menurunkan tas gue dan mulai merogoh apakah masih ada yg bisa dimakan untuk malam ini. Dan yg gue temukan adalah makanan dan minuman yg sangat mewakili para pria sejati, Susu Ultra rasa strawberry dan roti srikaya.

Gue duduk di sofa ruang guru dan mulai memakan dua makanan terakhir yg ada di tas gue. Tentu dalam hitungan detik, dua makanan yg bernasib buruk itu sudah pindah lokasi ke perut gue. Setidaknya bisa menahan perut untuk tidak lapar meski cuma sementara. Gue pun mengeluarkan sebungkus rokok yg sengaja gue bawa pas pergi dari pos.

Gue menyalakan rokok dan mulai menghisapnya. Kondisi ruang guru yg sepi dan sendu ini, tanpa sengaja membuat gue kembali mengingat masa-masa dulu saat gue bersekolah disini. Dari awal pertama masuk sebagai siswa baru, bertemu dengan Kemal, Ali, Medina, Rere, dan Frank, menjadi artis satu sekolah gara-gara selalu jadi incaran guru-guru BK gara-gara kabur terus dari razia, hingga saat-saat kelulusan dan perpisahan. Malam itu menjadi malam yg cukup sendu. Gue hampir saja menangis mengingat masa-masa itu.

Rasa ingin bernostalgia pun muncul, yg berujung gue kembali berkeliling sekolah. Dari ruang guru, ruang BK, ruang kepsek, sekretariat ekstrakulikuler, WC (?), kantin, mesjid, hingga kelas-kelas yg pernah gue isi.

Semua tampak sama, hanya bentuk fisik saja yg berubah. Ruang kelas menjadi dua tingkat, kantin direnovasi, dan GSG yg sudah jadi. Untuk yg kantin, gue menemukan beberapa warung yg masih terbuka. Dengan uang yg gue simpan di baju gue, gue memilih makanan dan minuman yg bisa jadi persediaan gue nanti. Tentu, gue meninggalkan pesan disitu dan menaruh uangnya.

Banyak sekali kenangan-kenangan di sekolah ini. Tapi, gue ngga bisa terus-menerus mengingat masa lalu. Gue harus terus menjalankan misi-super-penting ini. Pada saat ini, gue cuma bisa berharap kalau almamater gue, junior-junior gue, guru-guru, kepsek, penjaga sekolah, satpam, hingga paman dan bibi kantin semuanya selamat. Gue dan teman-teman gue akan mengakhiri mimpi buruk ini dengan segera.

Gue mematikan rokok persis di depan ruang guru dan memutuskan untuk membersihkan senjata agar besok kondisinya prima. Sambil membersihkan senjata, gue berpikir beberapa strategi dan alternatifnya agar cepat sampai di UNPAR.

Jam sudah menunjukkan pukul 12:17. Gue memutuskan untuk tidur sejenak untuk memulihkan kondisi dan stamina supaya besok tetap fit. Dan gue pun terlelap.

Satu jam……

BUM!!!!

Sebuah dentuman keras terdengar dari arah selatan, yg jelas membuat gue terbangun dan berjaga-jaga. Gue keluar ruangan dan ada kepulan asap dan api yg berkobar. Gue berasumsi pasukan musuh mulai menghancurkan setiap bangunan yg bisa saja gue jadikan tempat sembunyi.

Daripada sekolah gue menjadi sasaran, gue akhirnya meninggalkan sekolah gue. Dengan rasa sedih bercampur rindu, gue kembali memanjat pager sekolah dan mulai kembali berlari. Kembali melarikan diri dari pasukan musuh.

Gue berlari menuju arah utara dan memasuki jalan kecil. Disitu ada sedikit bercak-bercak darah yg sepertinya sudah agak lama.

Sepertinya sempat terjadi pertikaian antara warga dan pasukan musuh” pikir gue dalam hati. Cukup berani juga warga sekitar sini. Biasanya mereka kalem-kalem aja mirip kukang. Gue ikuti bercak darah itu, siapa tau bercak darah itu menuju ke suatu tempat atau orang yg gue kenali.

Naas. Bercak darah itu berhenti di sebuah penampungan sampah dan ada mayat disitu. Mayat laki-laki, dan tersadar gue kenal dengan mayat itu. Dia adalah Bang Ramli, penjaga sekolah gue. Gue kehabisan kata-kata. Gue memutuskan untuk mencari pemakaman setempat untuk memakamkan Bang Ramli dengan layak.

Akhirnya di dekat pom bensin daerah situ, ada pemakaman kecil. Dengan susah payah, gue menggali tanah disitu dengan pelan agar tidak ketahuan pasukan musuh yg masih patroli. Setelah terlihat cukup dalam, gue mulai mengkafani Bang Ramli dengan menggunakan seprai dari rumah warga sekitar. Kurang lebih sekitar 45 menit, gue beres memakamkan Bang Ramli. Dengan bunga seadanya, nisan dari kusen pintu yg lapuk, tinta dari spidol yg gue temukan di pinggir jalan. Sungguh kasihan Bang Ramli, mudah-mudahan dia korban terakhir dari kekejaman terorisme ini. Gue mendoakan Bang Ramli agar dia mendapatkan balasan baik dan setimpal dari Yang Maha Kuasa.

Gue mulai meninggalkan pemakaman itu dan kembali melanjutkan perjalanan.

“Capek! Dimana sih tempat persembunyian itu ?” gue mulai bergumam. Gue tersadar yg gue bawa adalah peta buta, tidak ada keterangan apa-apa disitu. Yg ada hanyalah lingkaran berwarna merah yg menandakan lokasi persembunyian rahasia.

Sambil membayangkan daerah yg gue lewati, gue mulai menyadari bahwa lokasinya sudah dekat. Tempat persembunyian itu ada di daerah Lengkong. Merasa sudah dekat, akhirnya gue berlari. Gue sudah membayangkan disana ada persediaan makanan, senjata, dan peluru.

Apa yg ada dibenak gue tidak sama dengan kenyataan. Lokasi Lengkong sudah hangus terbakar. Tak ada yg tersisa disitu. Dendam tersulut di dalam hati gue. Kesal, amarah menguasai emosi gue. Tapi sengaja gue simpan untuk gue lampiaskan nanti pada pasukan musuh.

Gue kembali berjalan. Meninggalkan daerah Lengkong yg sudah tidak aman, menuju arah utara. Dengan rasa kesal yg masih memuncak, gue berjalan melewati Jalan Karapitan menuju Jalan Sunda. Tentu tetap melihat sekeliling, mencari bangunan yg masih layak untuk dijadikan tempat beristirahat dan bersembunyi.

Bukan tempat sembunyi yg gue temukan, malah pasukan musuh yg menemukan gue.

“Itu dia! Tembak!!” komandan mereka memerintahkan untuk menembak.

“Sial! Sial!” gue terpaksa berlari untuk menghindari terjangan peluru yg mereka lepaskan. Dan, DOR!! Tangan kiri gue terkena tembakan. Gue pun tersungkur, untungnya gue jatuh tepat di blind spot mereka. Sehingga gue bisa mencari jalan memutar. Gue tidak bisa melanjutkan terus, karena tembakan tadi mungkin saja membuat pasukan musuh yg mungkin ada di depan gue nanti, malah mendatangi gue. Gue kembali memasuki gang kecil dan kembali ke arah sekolah gue.

Sambil berlari, gue mengikat tangan kiri gue agar pendarahannya berhenti. Gue sengaja melewati jalan-jalan tikus guna menghindari kejaran pasukan musuh. Sesekali gue berhenti untuk melakukan operasi dadakan untuk mengeluarkan peluru dari tangan kiri gue. Hanya sekali operasi dadakan, gue sukses mengeluarkan 3 peluru yg bersarang di tangan kiri gue.

Bermodalkan alkohol dari UKS sekolah, gue menyiramkan alkohol itu ke luka gue. Perih memang, tapi demi kesembuhan tangan gue. Perih karena alkohol masih biasa, karena masih ada yg lebih perih. Itulah yg terlintas dibenak gue. Sesekali gue mengumpat pada diri sendiri kenapa gue jomblo kelamaan.

Kembali ke cerita. Setelah gue beres memberi alkohol pada luka gue, gue menutup luka gue dengan lengan baju sebelah kanan supaya luka gue tetap steril. Tentu, lengan baju itu gue kasih alkohol juga.

Waktu sudah menunjukkan pukul 14.05, sudah hampir satu jam gue berlari. Gue berlari tidak tahu arah, yg penting selamat. Satu hal yg gue sadari adalah, gue sampai di alun-alun kota. Disitu ada satu gedung yg nampaknya sudah tidak terpakai lagi.

Gue terpaksa mencari pintu masuk gedung, yg ternyata gue kenali adalah gedung Palaguna Plaza. Beruntung, ada satu rolling door yg seperti baru ditutup oleh seseorang. Gue membuka sedikit rolling door itu, dan gue merayap untuk memasukinya. Demi keamanan, gue mengunci rolling door itu dengan linggis yg gue bawa. Entah apa yg ada dibenak gue untuk bawa linggis saat itu, tapi yg pasti linggis itu berguna untuk saat ini.

Dengan terengah-engah gue kembali menyusuri gedung Palaguna Plaza. Dan pada satu titik, gue menemukan ada jejak sepatu boots yg bercampur dengan lumpur. Dan itu menuju arah bioskop Palaguna.

Penuh kehati-hatian dan kewaspadaan ekstra, gue mengikuti arah jejak sepatu itu. Meskipun semakin lama semakin hilang, namun lumpur yg ada dijejak itu masih terlihat jelas. Gue menyiapkan handgun gue.

Terdengar, ada suara seseorang yg juga mengokang senjatanya. Hanya ada dua kemungkinan, yg pertama adalah pasukan musuh, atau kedua, warga setempat yg melengkapi dirinya dengan senjata.

Gue berjalan perlahan. Dan gue mendengar ada derap sepatu yg mengendap juga. Gue menempelkan badan gue di sebuah tembok. Gue yakin orang ini ada persis di sisi lain tembok ini dan bersebelahan dengan gue. Dengan cepat, gue meloncat dan menodongkan senjata. Hasilnya, mengejutkan.

“Frank ??!”

“Zi..Zico ?!!”

 

To Be Continued…..

 

Leave a comment