THE SOLDIER RECON 9 : POKEMON FREAKS HAS MET!! (PART 1)

PLAK!! PLAK!! PLAK!!!

“Sakit..bego…”

Hanya itulah komentar yg diucapkan oleh Ali. Memang, pelipisnya yg luka agak membuatnya sedikit lemas kekurangan darah. Beruntung baginya, Kemal sudah mengobatinya dan menutupnya dengan perban. Tapi, masih satu hal lagi. Ali belum sadar kalau dia sedang bersama Kemal disitu.

“Buset dah ini anak, tidurnya udah mirip Snorlax” Kemal masih mencari cara supaya Ali cepat sadar. Memanggil ibunya sungguh bukan ide yg bagus.

Satu persatu cara dia pikirkan, mulai dari menyiramnya dengan air yg bisa didapat di comberan sebelah, atau tutup hidungnya Ali, atau telanjangin supaya kedinginan sampai sadar. Ide yg terakhir sungguh buruk, yg ada mereka akan disangka homo.

“Maafkan gue Li, tapi ini cara terbaik….” Kemal berharap cara yg dia temukan terakhir bisa ampuh untuk membangunkan Ali. Kemal naik ke sebuah meja dan mulai menghitung sampai tiga.

“Satu..dua..TIGA!!”

Kemal membangunkan Ali dengan ekstrem. Dia sengaja lompat dari meja untuk membangunkan Ali.

“BUAAHHHH!!!!!!” Ali bangun sambil tersedak dan terbatuk-batuk. Matanya melotot sambil bernapas dengan susah payah.

“Lo..loh….Kem, lo ada disini ?? Uhuek…” Ali terkejut dengan keberadaan Kemal disitu.

“Iye, dan satu catetan, susah banget bangunin lo” ujar Kemal sambil mengelap keringatnya, “Gue mesti loncat dari atas meja buat bangunin lo doang”

“LO LONCAT DARI MEJA BUAT BANGUNIN GUE ?!!!” Ali menepuk jidatnya “Pantes kenapa gue bisa mimpi ditiban sama babi hutan”

“Ya gitu….bangsat lo emang…udah susah-susah dibangunin, malah disamain sama babi” ketus Kemal.

“Btw, thanks berat ye, padahal gue udah mikir kalo gue bakal mati disini”

“Lo ga boleh mati! Lo masih punya hutang beliin kaset Pokemon Z”

“Buset…masih diinget aja, gue ga akan lupa, suer!”

Ya memang kalau mereka sudah bertemu, yang mereka bicarakan hanya pokemon, pokemon, dan pokemon. Entah itu dari serial kartunnya, game, komik, hingga versi pornonya mereka bicarakan. Ibarat pisang dempet, mereka tidak terpisahkan. Kalo mau curiga, boleh aja, siapa tau ada fakta lain dibalik ini semua, misalnya saling tukeran kolor, mungkin ??

Kembali ke cerita, sambil beristirahat sejenak, Kemal mulai bingung bagaimana cara mereka sampai ke UNPAR.

“Lo ada ide kaga?” Kemal mulai membuka pembicaraan.

“Lagi ngga bisa mikir gue…belom makan…” Ali memang terlihat kurus.

“Nih gue ada roti, tapi…..”

Gelap mata. Ali langsung menyambar roti yg baru saja dikeluarkan Kemal dari tasnya. Dengan membabi buta, Ali memakan roti yg nasibnya sungguh tak beruntung itu.

“……kedaluwarsanya kemarin” lanjut Kemal.

Mata Ali kembali terbelalak. Ali langsung mengecek tanggal kedaluwarsanya dan memang itu tanggal di hari kemarin.

“Jadi…bodo amat ah” Ali sudah terlalu lapar.

Tiba-tiba gemericik hujan kembali terdengar. Disertai dengan angin kencang dan hujan besar pun mulai membasahi kota Bandung. Menyisakan dua pria lugu, polos, dan urakan , didalam pondok gelap, dan remang-remang. Berharap saja mereka tidak melakukan hal yg aneh-aneh.

“Gimana kalo kita berangkat sekarang ?” tiba-tiba Ali mengajak untuk melanjutkan perjalanan setelah menghabiskan roti bungkus beserta dengan plastiknya.

“Lo yakin ? Ditengah hujan begini ?”

“Yakin banget! Lagian pasukan musuh juga ngga akan patroli kalo ujan kayak begini” kata Ali sambil menepuk bahu Kemal.

Entah apa yg ada dipikiran Kemal. Dia langsung mengiyakan ajakan Ali. Secara bersamaan, mereka berdua meninggalkan tempat itu ditengah hujan besar.

Tapi yg ada mereka tambah menderita. Dimalam dingin seperti itu, dan memutuskan untuk melanjutkan perjalanan adalah sebuah kesalahan. Ditambah, hujan yg tadinya hujan angin biasa berubah menjadi hujan es.

Ibarat pokemon, mereka adalah Snorlax dan Psyduck. Emang ngga ada yg beres sama isi pikirannya masing-masing.

“Bos mereka sudah bergerak”

“Pantau terus ke arah mana mereka bergerak!” ujar Bryan.

Bryan sudah memantau pergerakan Kemal dari daerah Cihideung.

“Dapat dua mangsa, yang satu memang sasaranku dan yang satu lagi….” omongan Bryan terhenti, “akan kubalaskan dendammu padanya, Edge…”

Bryan dan Edge adalah sahabat kental dari SMP dulu. Kemana-mana selalu bersama, dari berangkat sekolah hingga mandi bareng (?). Kurang lebih sifat mereka mirip dengan Ali dan Kemal.

Bryan tentu kesal dengan kematian Edge ditangan Ali. Dia mendapatkan kabar itu setelah ada beberapa orang dari pasukan Edge yang datang padanya dan memberikan kabar menyedihkan itu. Setelah mendapat kabar itu, Bryan bersumpah akan menghabisi yg membunuh Edge, yg notabene itu adalah Ali.

Bryan melangkah ke arah senjatanya dan mulai mengisi senjatanya dengan peluru. Machine gun yang cukup besar, hanya dia tenteng dengan satu tangan, dan dia memiliki dua Machine gun.

“Semua berkumpul di ruang komando!” Bryan memerintahkan anak buahnya melalui interkom.

“Dengar semuanya, kali ini, kita akan benar-benar menghabisi orang. Kalian lihat dua orang bodoh ini ?! Ya, merekalah sasaran kita. Tapi jangan terkecoh dengan penampilan dan ketololan mereka, karena salah satu dari mereka berhasil membunuh Edge, sahabatku. Sekarang, serbu mereka berdua, SEKARANG JUGA!!!!” perintah Bryan.

“SIAP” semua pasukan serentak meninggalkan pos dan Bryan mengikuti dari belakang.

“Lihat saja Edge, akan kupenggal kepala anak itu demi membalaskan kematianmu” Bryan mengikrarkan janjinya dan mengepalkan tangannya ke atas. Disisi ini, Bryan terlihat lebih jantan dari Kemal dan Ali.

TOEEETTT!!! TOEEETTTT!!!

Suara sirine membahana di seluruh penjuru Jln. Sukajadi. Kemal dan Ali jelas tambah bingung. Apalagi Ali, mungkin luka dikepalanya membuat otaknya menjadi tambah sengklek.

“Udah imsak ya?” imbuh Ali sambil garuk-garuk kepala.

“Sekarang bukan bulan puasa, bego! Itu tandanya pasukan musuh sudah mulai bergerak!!” Kemal menyiapkan senjatanya tanda waspada.

“Lo tau dari mana mal?” Ali makin keheranan.

“Insting gue yg ngasih tau” jawab Kemal dengan keren. Tapi tampangnya lebih mirip dengan Tukul dibanding Van Damme.

Kemal dan Ali segera menyiapkan senjata dengan amunisi seadanya. Yang bisa mereka andalkan saat ini adalah senjata sniper milik Ali dan machine gun milik Kemal. Tentu dengan amunisi yg sudah menipis sekali. Amunisi peluru yg mereka punya saat ini untuk masing-masing senjata andalan hanya untuk 2 kali reload saja.

Untung mereka mengambil beberapa handgun dari pasukan musuh yg berhasil mereka tumpas. Setidaknya, untuk handgun mereka punya cadangan peluru lebih banyak.

“Kita pake handgun dulu aja, mumpung peluru yg kita rampas banyak” Ali mengidekan.

“Setuju..” Kemal pun mengiyakan pernyataan Ali.

Jika sudah dalam kondisi terjepit seperti ini, mereka bukan bagaikan Snorlax atau Psyduck lagi, tapi menjelma menjadi Blastoise dan Charizard. Entah mengapa, pikiran mereka mendadak kritis disaat seperti ini.

Benar saja, baru berjalan 10 langkah, pasukan musuh sudah ada di depan mereka dan mulai menembaki mereka berdua.

“Berlindung!!!” Kemal dan Ali langsung bersembunyi dibalik tembok-tembok bangunan.

Jumlah pasukan musuh yg begitu banyak membuat mereka harus menggunakan dua handgun sekaligus. Dan lucunya, akurasi menembak mereka mendekati 100%. Entah apa yg merasuki mereka. Berharap saja mereka kerasukan para pejuang Indonesia 1945.

Kemal dan Ali mulai balas menembaki pasukan musuh.

“Kem, taruhan yok, mau kagak?” tawar Ali.

“Ayok, mau taruhan apaan lo?” Kemal menerimanya dengan senang hati.

“Yang paling sedikit headshot-nya, harus nraktir makan sama minum di warung Bu Moes, gimana ?” sambung Ali.

“Deal!” Kemal menyanggupi tawaran itu.

Bisa-bisanya mereka taruhan dikala kondisi tertekan seperti ini. Tapi, itu bisa saja menjadi salah satu pemicu bagi mereka berdua untuk menumpas pasukan musuh dengan segera agar mereka bisa melanjutkan perjalanan mereka ke UNPAR.

Pasukan musuh mulai berjatuhan. Bukan, mereka bukan turun dari langit. Kebanyakan dari pasukan musuh terkena tembak tepat di kepala mereka. Untuk lebih detailnya, persis diantara mata mereka naik sedikit. Itu sedikit membuat pasukan musuh mirip orang India.

“Apa-apaan ini?!!! Mereka hanya berdua, cepat habisi!!!” Bryan sudah kesal duluan. Berharap saja dia sedang PMS saat itu.

Pasukan musuh kembali memberondong mereka berdua. Untungnya, mereka lagi mengisi ulang senjata mereka saat itu.

“Ayo lagi!!!” Gue ngga akan kalah dari lo, Li!!” Kemal menembak dengan membabi buta.

“Lo harus nraktir gue Kem!!!” Ali sama semangatnya dengan Kemal.

Lagi-lagi tembakan mereka tepat dijidat para pasukan musuh itu. Itu semakin mempermudah pekerjaan mereka saat itu, meski ditengah hujan es.

Bryan yang sudah tanggung kesal, mulai mengeluarkan machine gun-nya. Tidak hanya satu, tapi dua sekaligus. Dan Bryan langsung menembakkan pelurunya dengan sembarangan, masa bodoh jika tembakannya mengenai pasukannya sendiri. Sekedar informasi, machine gun yang digunakan Bryan itu jenis machine gun yg bisa berputar bagian depannya.

“MATI KALIAN!!! MATI KALIAN!!!!” Mata Bryan melotot serasa mau copot.

“Waduh, kabur dulu Kem. Salah-salah kita kena berondong peluru om-om ajaib itu” Ali langsung menghindar.

“Buset deh, tunggu woy!” Kemal berniat untuk menyusul Ali. Terlambat, langkahnya terhenti akibat terjangan peluru Bryan.

Terpaksa Kemal berlari ke arah berlawanan dan mulai bersembunyi. Tersadar, hujan mulai berhenti. Dengan situasi seperti ini, mengalahkan Bryan akan menjadi lebih mudah.

“Li, lo siapin sniper lu, back-up gue” Kemal meminta pertolongan.

“Udah dari tadi, pas dipondok udah gue siapin” jawab Ali keras.

“KALIAN TIDAK BISA BERSEMBUNYI!!!!! HUAAHAHAHA!!!”

Bryan kembali menembakkan senjatanya dengan sembarangan. Wajar saja, persediaan pelurunya dia lilitkan ke badannnya. Mirip Rambo-lah sedikit, cuman yg ini versi jeleknya.

“Sip!” Kemal mengeluarkan machine gun-nya dan mulai membalas tembakan Bryan.

Tembakan dari Kemal cukup membuat Bryan melangkah mundur dulu mencari perlindungan. Hanya saja, Kemal harus pintar-pintar menggunakan pelurunya. Indahnya, Kemal mengikuti Bryan sambil menembak. Tanpa sadar, Kemal mengisi kembali senjatanya dan kembali menembaki Bryan.

“Hei bodoh, ingat sisa pelurumu..” Ali mengingatkan Kemal.

Kemal mendadak terdiam. Dia tersadar bahwa peluru disenjata yg dia pegang sekarang tinggal ada 40 buah saja. Dan itu sudah siap ditembakkan. Kemal hanya menepuk jidatnya akibat keteledorannya.

Kemal langsung berlari mundur, dan lagi-lagi menembakkan senjatanya hingga pelurunya habis. Kali ini, Kemal langsung melempar senjatanya. Disaat itulah, Bryan kembali muncul dan Kemal sudah bersembunyi tentunya.

“Dimana kau bodoh ?! KELUAR!!!” Bryan membentak mereka berdua.

Kemal dan Ali tentu tidak akan keluar dari tempat masing-masing. Dengan berbisik-bisik menggunakan HT, mereka berdua menyusun rencana.

“Li, gimana kalo lu tembak machine-gun tepat ditengah-tengah, masing-masing 2 kali? Supaya bisa merusak pemutar machine gun itu.” ujar Kemal.

“Bisa saja, tapi berikutnya apa?” Ali bingung langkah selanjutnya.

“Gue baru aja nemu senjata lain, mirip-mirip sniper, masih ada sisa 5 peluru lagi” sahut Kemal.

“Emang lo bisa pakenya, Kem?” Ali meragukan kemampuan Kemal.

“Mudah-mudahan….” jawab Kemal sekenanya.

Ali hanya bisa berdo’a semoga Kemal bisa menggunakan senjata yg baru ditemukannya itu. Ali mulai membidik senjata Bryan. Bodohnya Bryan, dia hanya fokus pada Kemal, tidak pada Ali.

BANG!!! BANG!!! BANG!!! BANG!!!!!

Ali menembak secara beruntun dua kali, dengan harapan 4 peluru yg dia tembakkan bisa merusak machine gun Bryan.

DZING!! DZING!!!

Suara pantulan peluru menggema. Itu tandanya peluru yg ditembakkan oleh Ali tepat mengenai machine gun Bryan.

“HAHAHAHA!!! MELESET, DASAR KAU BOCAH INGUSAN!!!!” Bryan dengan muka sengaunya mulai menarik pelatuk.

Sial baginya, pelatuk itu mendadak tidak bisa dia tarik. Pelatuknya menjadi keras. Usaha Ali untuk merusak machine gun Bryan berhasil dengan telak. Dengan kondisi seperti itu, Bryan malah membanting-bantingkan senjatanya dan kembali menarik pelatuknya dengan paksa.

Naas. Akibat menarik paksa pelatuk senjatanya, Bryan tidak sadar jika mesiu didalam peluru yg berada di senjatanya mulai terguncang dan terbakar. Akibatnya, senjatanya meledak dan peluru-peluru itu mulai terbakar dan menjalar ke tubuhnya. Hal ini disebabkan gara-gara peluru yg dia lilitkan di badannya dengan sengaja.

“ARRGGGHHH!! SIALAN KAU ANAK SETAN!!!!!” geram Bryan akibat ulah Ali.

“SEKARANG KEM!!!!” teriak Ali dari kejauhan.

Kemal mulai membidik secara hati-hati karena Bryan yg kepanasan itu tidak berhenti bergoyang-goyang. Tepat saat Bryan menghadapkan badannya, Kemal mulai melepaskan tembakan. Dia habiskan sisa 5 peluru itu.

Hasilnya lumayan, 2 peluru tepat mengenai perut Bryan, 1 peluru di ulu hatim dan 2 peluru tepat bersarang di jantungnya. Bryan terkapar dan tewas seketika. Dia gagal membalaskan dendam sahabatnya, Edge.

Kemal dan Ali mulai keluar dari tempat persembunyiannya. Melihat Bryan yg tewas sedang dilalap api. Tanpa komando, mereka kembali melanjutkan perjalanan mereka ke UNPAR. Hujan sudah berhenti, dan matahari mulai bersinar kembali memancarkan cahaya harapan.

 

 

To be Continued……..

 

 

 

 

 

THE SOLDIER RECON 8 : A LONELY SOLDIER

Dengan susah payah gue melarikan diri dari kejaran pasukan musuh. Jumlahnya, tentu lebih banyak dari gue. Yang ada dipikiran gue bukan bagaimana gue sampai di tempat persembunyian rahasia, tapi bagaimana caranya gue bisa lolos dari kejaran mereka. Disamping itu, persediaan peluru juga mulai menipis menuju habis.

Di sepanjang Jalan Mohammad Toha tidak ada tempat sembunyi yg cukup luas. Hanya ada gang-gang kecil saja. Jujur saja, gue benar-benar butuh rekan disini untuk sebagai backing. Untungnya, gue bisa dibilang 98% kenal sama daerah ini, jadi setidaknya tahu beberapa spot yg aman. Untuk saat ini, posisi gue lagi di gang H. Akhsan, lokasi dimana SMA gue berada yg tentu bisa dijadikan tempat bermalam yg cukup aman.

“Sial tangan gue lecet” telapak tangan gue lecet parah, “Sejak kapan pager sekolah dipasang kawat berduri ??”

Bermodalkan senter yg ada di tas, gue berkeliling sekolah gue dulu. Pintu-pintu kelas terbuka dengan sangat lebar dan masih ada tas siswa-siswi disitu. Gue sangat yakin mereka terpaksa meninggalkan barang-barang mereka untuk melarikan diri.

Gue kembali berjalan sambil mencari ruangan yg lokasinya ada ditengah-tengah sekolah, supaya gue bisa menyalakan lampu dan tidak ketahuan oleh pasukan musuh. Dan gue tersadar, yg ada ditengah-tengah sekolah adalah lapangan upacara.

“NGUING! NGUING! NGUING!” terdengar suara sirene dari luar sekolah. Pasukan musuh masih mencari-cari gue. Tapi mereka berlalu begitu saja. Berarti tempat ini fix aman, dengan satu kondisi, tidak ada lampu sama sekali.

Setelah memastikan mereka berlalu, gue kembali mencari ruangan yg pas, dan pilihan gue adalah ruang guru. Kenapa ruang guru? Karena ruang guru letaknya ada tengah-tengah sekolah. Ngga tengah-tengah amat sih, tapi sudahlah. Gue menyalakan beberapa lampu di ruang guru. Terlihat masih ada tas-tas dan pekerjaan yg ditinggalkan.

Gue memutuskan untuk istirahat sejenak disini. Gue pun menurunkan tas gue dan mulai merogoh apakah masih ada yg bisa dimakan untuk malam ini. Dan yg gue temukan adalah makanan dan minuman yg sangat mewakili para pria sejati, Susu Ultra rasa strawberry dan roti srikaya.

Gue duduk di sofa ruang guru dan mulai memakan dua makanan terakhir yg ada di tas gue. Tentu dalam hitungan detik, dua makanan yg bernasib buruk itu sudah pindah lokasi ke perut gue. Setidaknya bisa menahan perut untuk tidak lapar meski cuma sementara. Gue pun mengeluarkan sebungkus rokok yg sengaja gue bawa pas pergi dari pos.

Gue menyalakan rokok dan mulai menghisapnya. Kondisi ruang guru yg sepi dan sendu ini, tanpa sengaja membuat gue kembali mengingat masa-masa dulu saat gue bersekolah disini. Dari awal pertama masuk sebagai siswa baru, bertemu dengan Kemal, Ali, Medina, Rere, dan Frank, menjadi artis satu sekolah gara-gara selalu jadi incaran guru-guru BK gara-gara kabur terus dari razia, hingga saat-saat kelulusan dan perpisahan. Malam itu menjadi malam yg cukup sendu. Gue hampir saja menangis mengingat masa-masa itu.

Rasa ingin bernostalgia pun muncul, yg berujung gue kembali berkeliling sekolah. Dari ruang guru, ruang BK, ruang kepsek, sekretariat ekstrakulikuler, WC (?), kantin, mesjid, hingga kelas-kelas yg pernah gue isi.

Semua tampak sama, hanya bentuk fisik saja yg berubah. Ruang kelas menjadi dua tingkat, kantin direnovasi, dan GSG yg sudah jadi. Untuk yg kantin, gue menemukan beberapa warung yg masih terbuka. Dengan uang yg gue simpan di baju gue, gue memilih makanan dan minuman yg bisa jadi persediaan gue nanti. Tentu, gue meninggalkan pesan disitu dan menaruh uangnya.

Banyak sekali kenangan-kenangan di sekolah ini. Tapi, gue ngga bisa terus-menerus mengingat masa lalu. Gue harus terus menjalankan misi-super-penting ini. Pada saat ini, gue cuma bisa berharap kalau almamater gue, junior-junior gue, guru-guru, kepsek, penjaga sekolah, satpam, hingga paman dan bibi kantin semuanya selamat. Gue dan teman-teman gue akan mengakhiri mimpi buruk ini dengan segera.

Gue mematikan rokok persis di depan ruang guru dan memutuskan untuk membersihkan senjata agar besok kondisinya prima. Sambil membersihkan senjata, gue berpikir beberapa strategi dan alternatifnya agar cepat sampai di UNPAR.

Jam sudah menunjukkan pukul 12:17. Gue memutuskan untuk tidur sejenak untuk memulihkan kondisi dan stamina supaya besok tetap fit. Dan gue pun terlelap.

Satu jam……

BUM!!!!

Sebuah dentuman keras terdengar dari arah selatan, yg jelas membuat gue terbangun dan berjaga-jaga. Gue keluar ruangan dan ada kepulan asap dan api yg berkobar. Gue berasumsi pasukan musuh mulai menghancurkan setiap bangunan yg bisa saja gue jadikan tempat sembunyi.

Daripada sekolah gue menjadi sasaran, gue akhirnya meninggalkan sekolah gue. Dengan rasa sedih bercampur rindu, gue kembali memanjat pager sekolah dan mulai kembali berlari. Kembali melarikan diri dari pasukan musuh.

Gue berlari menuju arah utara dan memasuki jalan kecil. Disitu ada sedikit bercak-bercak darah yg sepertinya sudah agak lama.

Sepertinya sempat terjadi pertikaian antara warga dan pasukan musuh” pikir gue dalam hati. Cukup berani juga warga sekitar sini. Biasanya mereka kalem-kalem aja mirip kukang. Gue ikuti bercak darah itu, siapa tau bercak darah itu menuju ke suatu tempat atau orang yg gue kenali.

Naas. Bercak darah itu berhenti di sebuah penampungan sampah dan ada mayat disitu. Mayat laki-laki, dan tersadar gue kenal dengan mayat itu. Dia adalah Bang Ramli, penjaga sekolah gue. Gue kehabisan kata-kata. Gue memutuskan untuk mencari pemakaman setempat untuk memakamkan Bang Ramli dengan layak.

Akhirnya di dekat pom bensin daerah situ, ada pemakaman kecil. Dengan susah payah, gue menggali tanah disitu dengan pelan agar tidak ketahuan pasukan musuh yg masih patroli. Setelah terlihat cukup dalam, gue mulai mengkafani Bang Ramli dengan menggunakan seprai dari rumah warga sekitar. Kurang lebih sekitar 45 menit, gue beres memakamkan Bang Ramli. Dengan bunga seadanya, nisan dari kusen pintu yg lapuk, tinta dari spidol yg gue temukan di pinggir jalan. Sungguh kasihan Bang Ramli, mudah-mudahan dia korban terakhir dari kekejaman terorisme ini. Gue mendoakan Bang Ramli agar dia mendapatkan balasan baik dan setimpal dari Yang Maha Kuasa.

Gue mulai meninggalkan pemakaman itu dan kembali melanjutkan perjalanan.

“Capek! Dimana sih tempat persembunyian itu ?” gue mulai bergumam. Gue tersadar yg gue bawa adalah peta buta, tidak ada keterangan apa-apa disitu. Yg ada hanyalah lingkaran berwarna merah yg menandakan lokasi persembunyian rahasia.

Sambil membayangkan daerah yg gue lewati, gue mulai menyadari bahwa lokasinya sudah dekat. Tempat persembunyian itu ada di daerah Lengkong. Merasa sudah dekat, akhirnya gue berlari. Gue sudah membayangkan disana ada persediaan makanan, senjata, dan peluru.

Apa yg ada dibenak gue tidak sama dengan kenyataan. Lokasi Lengkong sudah hangus terbakar. Tak ada yg tersisa disitu. Dendam tersulut di dalam hati gue. Kesal, amarah menguasai emosi gue. Tapi sengaja gue simpan untuk gue lampiaskan nanti pada pasukan musuh.

Gue kembali berjalan. Meninggalkan daerah Lengkong yg sudah tidak aman, menuju arah utara. Dengan rasa kesal yg masih memuncak, gue berjalan melewati Jalan Karapitan menuju Jalan Sunda. Tentu tetap melihat sekeliling, mencari bangunan yg masih layak untuk dijadikan tempat beristirahat dan bersembunyi.

Bukan tempat sembunyi yg gue temukan, malah pasukan musuh yg menemukan gue.

“Itu dia! Tembak!!” komandan mereka memerintahkan untuk menembak.

“Sial! Sial!” gue terpaksa berlari untuk menghindari terjangan peluru yg mereka lepaskan. Dan, DOR!! Tangan kiri gue terkena tembakan. Gue pun tersungkur, untungnya gue jatuh tepat di blind spot mereka. Sehingga gue bisa mencari jalan memutar. Gue tidak bisa melanjutkan terus, karena tembakan tadi mungkin saja membuat pasukan musuh yg mungkin ada di depan gue nanti, malah mendatangi gue. Gue kembali memasuki gang kecil dan kembali ke arah sekolah gue.

Sambil berlari, gue mengikat tangan kiri gue agar pendarahannya berhenti. Gue sengaja melewati jalan-jalan tikus guna menghindari kejaran pasukan musuh. Sesekali gue berhenti untuk melakukan operasi dadakan untuk mengeluarkan peluru dari tangan kiri gue. Hanya sekali operasi dadakan, gue sukses mengeluarkan 3 peluru yg bersarang di tangan kiri gue.

Bermodalkan alkohol dari UKS sekolah, gue menyiramkan alkohol itu ke luka gue. Perih memang, tapi demi kesembuhan tangan gue. Perih karena alkohol masih biasa, karena masih ada yg lebih perih. Itulah yg terlintas dibenak gue. Sesekali gue mengumpat pada diri sendiri kenapa gue jomblo kelamaan.

Kembali ke cerita. Setelah gue beres memberi alkohol pada luka gue, gue menutup luka gue dengan lengan baju sebelah kanan supaya luka gue tetap steril. Tentu, lengan baju itu gue kasih alkohol juga.

Waktu sudah menunjukkan pukul 14.05, sudah hampir satu jam gue berlari. Gue berlari tidak tahu arah, yg penting selamat. Satu hal yg gue sadari adalah, gue sampai di alun-alun kota. Disitu ada satu gedung yg nampaknya sudah tidak terpakai lagi.

Gue terpaksa mencari pintu masuk gedung, yg ternyata gue kenali adalah gedung Palaguna Plaza. Beruntung, ada satu rolling door yg seperti baru ditutup oleh seseorang. Gue membuka sedikit rolling door itu, dan gue merayap untuk memasukinya. Demi keamanan, gue mengunci rolling door itu dengan linggis yg gue bawa. Entah apa yg ada dibenak gue untuk bawa linggis saat itu, tapi yg pasti linggis itu berguna untuk saat ini.

Dengan terengah-engah gue kembali menyusuri gedung Palaguna Plaza. Dan pada satu titik, gue menemukan ada jejak sepatu boots yg bercampur dengan lumpur. Dan itu menuju arah bioskop Palaguna.

Penuh kehati-hatian dan kewaspadaan ekstra, gue mengikuti arah jejak sepatu itu. Meskipun semakin lama semakin hilang, namun lumpur yg ada dijejak itu masih terlihat jelas. Gue menyiapkan handgun gue.

Terdengar, ada suara seseorang yg juga mengokang senjatanya. Hanya ada dua kemungkinan, yg pertama adalah pasukan musuh, atau kedua, warga setempat yg melengkapi dirinya dengan senjata.

Gue berjalan perlahan. Dan gue mendengar ada derap sepatu yg mengendap juga. Gue menempelkan badan gue di sebuah tembok. Gue yakin orang ini ada persis di sisi lain tembok ini dan bersebelahan dengan gue. Dengan cepat, gue meloncat dan menodongkan senjata. Hasilnya, mengejutkan.

“Frank ??!”

“Zi..Zico ?!!”

 

To Be Continued…..

 

THE SOLDIER RECON 7 : SOLDIER’S GREATEST FEAR

Langkah-langkah kaki menggema dimana-mana. Jumlah yg tidak sedikit pastinya. Sudah jelas langkah-langkah itu sedang mencari seseorang yg mungkin akan mengancam dan mungkin menggagalkan rencana yg sudah mereka susun rapi. Tentu jika rencana ini gagal, sang pimpinan tertinggi, Puce, akan marah besar.

Ya, setidaknya itulah kondisi yg dihadapi oleh Kemal. Dia harus sembunyi dulu sekarang dari pasukan musuh.  Entah sudah berapa yg dia tumpas, tapi jumlah pasukan musuh makin lama malah semakin banyak. Ditambah persediaan peluru yg makin menipis dan suasana yg semakin gelap.

“Sial! Kenapa gue harus sendirian sih disini? Di bukit pula ?!”

Kemal mulai sedikit protes dengan keputusan Rere sebelumnya. Seharusnya dia menolak untuk beroperasi sendirian di daerah perbukitan seperti ini.

“Gue harus nemu tempat sembunyi lainnya.”

Kemal sebenarnya sudah menemukan tempat persembunyian di daerah Cihideung. Namun, tempat itu hancur berantakan. Sepertinya pasukan musuh mengetahui itu adalah tempat persembunyian rahasia. Terlihat ada bekas jejak kaki orang lari-lari kepanikan, disertai jejak kaki sepatu boots. Persedaan peluru yg diinformasikan pada Kemal pun raib semua.

Kemal kembali berlari. Karena berisik, keberadaannya diketahui oleh pasukan musuh. Dengan sisa tenaga yg ada, Kemal berlari sekencang-kencangnya. Karena terlalu panik, Kemal terperosok ke sebuah lembah curam yg cukup dalam.

“Aw! Aw! Aduh!” Ada beberapa dahan pohon dan semak-semak yg tepat mengenai selangkangan Kemal. Jika dia terus dalam kondisi itu, impoten akan menghampirinya. Ada satu dahan pohon yg cukup besar dan itu tepat menghantam “burung”-nya.

Kemal tak bersuara karena hantaman itu cukup keras. Dia hanya berharap tidak menjadi mandul gara-gara dahan sialan itu. Namun sisi baiknya, pasukan musuh mengira Kemal sudah mati jatuh ke lembah itu.

“Ke…..sempat..an..bu..bu…buat…..kab..burr” Kemal kembali melangkahkan kakinya, tentu sambil memegang selangkangan yg menjadi korban hari itu gara-gara jatuh ke lembah curam. Perih dan panas. Itulah yg Kemal rasakan saat ini.

Sambil menahan rasa sakit, Kemal terus berjalan ke arah selatan. Beruntung baginya, dia menemukan sebuah pondok kecil dengan cahaya lampu yg remang-remang.

“Sepertinya gue bisa menggunakan tempat ini untuk beristirahat” gumamnya. Kemal sudah terlalu lelah untuk melanjutkan perjalanan ke UNPAR. Kemal butuh istirahat setidaknya hingga 1-2 hari kedepan untuk melanjutkan misinya.

Kemal merogoh tas yg dia bawa, sembari berharap ada secercah makanan yg bisa dia konsumsi untuk malam itu.

Nihil. Yang Kemal dapatkan hanyalah bungkusan-bungkusan coklat bar saja. Muncul dibenaknya ada orang-orang India yg mengejeknya sambil mengucapkan “Mulai lapar! Mulai lapar!” dari sebuah iklan. Iklan yg sangat menyebalkan.

Cacing diperutnya mulai berdemo minta makanan. Terpaksa, Kemal melihat sekeliling apakah ada yg bisa dimakan. Dan, dia menemukan dua kaleng sup yg masa kedaluwarsanya hari itu juga.

Dengan sangat hati-hati, Kemal menyalakan api dari sisa-sisa karpet yg ada di pondok itu dan sebongkah batu yg dia gesek-gesekkan dengan pisau. Kali ini Kemal lebih mirip manusia primitif dibanding dengan seorang tentara.

“Susah sekali bertahan hidup di kondisi seperti ini” keluhnya pada gantungan kunci Pokemon kesayangannya, Eevee. Hanya Eevee yg menemani Kemal malam itu. Kasihan memang, tapi jomblo memang seperti itu.

Sesekali Kemal mengaduk dua kaleng sup yg bernasib naas itu.

“Kupikir sudah matang….” Kemal mencicipi sup itu, “Sempurna! Seharusnya gue jadi koki saja daripada menjadi tentara”

Dengan cepat, Kemal mengangkat panci – atau lebih tepatnya helm perang—supaya supnya tidak terlalu matang dan mulai menyantapnya layaknya binatang buas. Panas-panas di lidah tidak seberapa dengan asupan makanan yg masuk ke dalam perut tercintanya, yg memang sedikit tambun. Bilangnya sih, disitu tersimpan cita-cita dan harapan.

Sesekali Kemal melihat keluar. Suasana malam yg sangat syahdu tapi tidak dengan kenyataan sekarang ini.

Apa gue cabut aja dari pondok ini ?”  Kemal berpikir untuk meninggalkan tempat itu dan kembali melanjutkan perjalanannya. Kemal berada dalam posisi dilematis. Dia dihampiri oleh rasa takut, entah itu takut dihabisi oleh pasukan musuh, diterkam hewan buas, atau bertemu hantu. Yg jelas Kemal merasa takut pada malam itu.

Akhirnya setelah berdebat dengan teman satu-satunya, Eeeve, Kemal memutuskan untuk pergi dari situ sekarang juga. Dengan perlahan-lahan dia menyusuri jalan kecil di lembah itu, sambil berpikir bagaimana caranya dia bisa naik kembali ke atas dan mencari tempat persembunyian lainnya.

Dengan akar rotan yg dia sering temukan, Kemal menyambungkannya menjadi sebuah tali yg panjang dan membuat laso dengan itu. Namun, karena basah, kesulitan untuk mengaitkan laso itu ke sebuah dahan menjadi pekerjaan yg sangat sulit. Akhirnya, Kemal menggunakan bra yg dia temukan disitu dan berhasil.

Sedikit demi sedikit Kemal naik dan sampai diujung lembah. Dia menyadari kalau dia ada di kompleks perumahan yg sudah sepi. Kemal melihat ke sekelilingnya dan tidak ada tanda-tanda kehidupan. Berarti, daerah itu aman untuk dilewati.

Dengan penerangan seadanya dari lampu-lampu jalan disitu, Kemal mulai sedikit berhalusinasi. Dari pohon yg dia sangka adalah bapaknya hingga kucing bermuka Ali. Kelelahan dan rasa takutnya mulai membuat Kemal paranoid. Rasa kantuk pun mulai menguasainya.

Perjalanannya semakin terasa cepat, karena jalanannya menurun. Dengan segera, Kemal sudah sampai di terminal Ledeng. Tapi tempat itu terlalu terbuka untuknya untuk beristirahat dan sangat berbahaya. Mau tak mau, Kemal kembali harus berjalan turun.

Anehnya, disekitar jalan Setiabudi dan sekitarnya, tidak ada tanda-tanda keberadaan pasukan musuh. Sepi sekali disitu. Menjadi sebuah keuntungan bagi Kemal untuk mencari tempat persembunyian dengan lebih leluasa. Hanya saja, jalanan disana sudah sangat parah. Entah itu karena ledakan atau kendaraan berat yg lewat.

Sialnya, Kemal tidak bisa meneruskan jalan ke arah UNPAR karena jalanan di dekat Borma Setiabudi berlubang cukup dalam. Lubang itu bisa saja menewaskan Kemal jika dia terjerembab ke dalamnya. Kemal harus memutar mau tak mau.

Ternyata, tidak hanya sampai disitu. Jalanan Setiabudi bukan berlubang, tapi lenyap. Jalanan aspal disitu benar-benar hilang. Sepertinya dirusak oleh pasukan musuh agar para tentara dan tentara khusus ini tidak mudah untuk mendekat. Terpaksa, Kemal terus berjalan turun menyusuri jalanan panjang disitu.

Matanya sudah tak mampu menahan rasa kantuk yg begitu berat. Tapi, Kemal harus tetap waspada. Keselamatannya tidak ada yg bisa menjamin kecuali dirinya sendiri. Berjalan dan terus berjalan, itulah yg dilakukan Kemal daritadi. Tak ada rasa ingin kencing atau boker. Jangankan untuk dua kegiatan sakral itu, merasakan kaki sendiri saja sudah sulit.

Samar-samar, Kemal kembali menemukan sebuah pondok. Kali ini tempatnya jauh lebih aman, karena sangat-sangat terpencil. Pondok itu tak jauh lokasinya dengan PVJ tapi harus berjalan jauh ke dalam dan pondok itu ditutupi rumput-rumput ilalang yg sangat tinggi menjulang dan semak-semak belukar.

Dengan tenaga yg tersisa, Kemal memanjat pagar pondok itu dan mulai merangsek masuk melewati ilalang dan semak belukar itu. Sengaja Kemal tidak memotong ilalang itu, supaya pondok itu tidak diketahui oleh pasukan musuh.

Pintu pondok itu tidak terkunci sama sekali, tapi Kemal menyadari ada jejak sepatu yg masuk ke dalam pondok itu.

“Lagi kyk gini aja gue harus waspada, apes bener deh gue” kata Kemal sembari mengokang senjatanya untuk berjaga-jaga.

Karena terlalu gelap, Kemal mengeluarkan senter dari sakunya. Ada bekas-bekas darah disitu. Dan darah itu masih segar sekali. Kemal berasumsi bahwa orang itu baru saja masuk ke pondok beberapa saat sebelum dia.

Kemal mulai mengendap-ngendap sambil mengikuti ke arah mana darah itu. Di pojokan dia menemukan seseorang dan hampir saja menembaknya. Untung Kemal masih bisa menahan tenaganya untuk menarik pelatuk senjatanya. Karena, orang yg sedang terduduk lemas disitu adalah orang yg dia kenal.

Kemal hanya bisa berucap kecil….

“A…Ali……??”

To Be Continued…….

THE SOLDIER RECON CHAPTER 6 : THE TWO GRIM REAPER (PART 2)

“Bos, apa yg akan kita lakukan saat ini?” salah seorang pasukan musuh mulai was-was karena Frank dan Ali berhasil menghabisi pasukan pertama.

“Tenang dan perhatikan, kita jangan seperti Vic yg tergesa-gesa dan tidak sabaran, nanti hasilnya bisa kacau” Edge menenangkan anak buahnya. Memang diantara pimpinan pasukan yg lain, Edge terbilang paling santai.

“Sudah, lebih baik kalian beristirahat saja, besok atau lusa kita ada rencana besar yg harus dijalankan” lanjut Edge.

Disisi lain, Frank, Ali, dan Indah sudah mulai memasuki kawasan Kebon Jati. Mereka bertiga mulai mencari-cari tempat persembunyian sesuai dengan info yg didapat Frank dan Ali sebelum berangkat.

“Harusnya didekat-dekat sini pintunya, tapi kok ga ada ye?” Frank masih mencari sambil garuk-garuk kepala.

“Apa lo yakin bener disini?” Indah mulai ragu dengan Frank.

“Harusnya disini, gue yakin bener dah sumpah” Frank semakin cepat mencari pintu rahasia itu.

“AAHHH!!!” Ali terperosok ke dalam sebuah got besar.

“Kenapa lo Li?” Frank berlari ke arah Ali “Lo mau boker ya?”

“Bukan itu bego!” jawab Ali sambil memegangi pantatnya “Gue jatoh disini!”

“Eh itu apaan ya?” Indah menyusul Frank ke tempat Ali.

“Lo jangan nongol tiba-tiba gitu dong, kaget gue” kata Frank sambil mengelus dada. Ekspresinya mirip-mirip habis ketemu hantu.

“Eh iya maap-maap, tapi itu apa ya?” Indah masih penasaran dengan sebuah bentuk di depan Ali “Bentuknya mirip pintu”

Ali mulai melihat ke arah pintu itu. Dia merasa kalau pintu itu adalah pintu rahasia yg mereka cari. Ali mencoba membuka pintu itu, dan untungnya pintu itu tidak terkunci.

“Bro, sis, pintunya ngga dikunci, ayo kita masuk” Ali masuk ke dalam ruangan dibalik pintu itu. Diikuti oleh Indah dan Frank. Tak lupa, Frank menutup kembali pintu itu dan menguncinya supaya tidak ketahuan oleh pihak musuh.

“Gelap banget yak, Frank lo ada senter ga?” Ali mulai susah untuk melihat karena sepanjang lorong itu sangat gelap.

“Ada nih” Frank menyalakan senternya.

Ruangan itu memang mirip tempat persembunyian, persis seperti yg diberitahu oleh Niko. Hanya saja penerangannya yg kurang.

“Coba deh, kita raba-raba temboknya siapa tau ada saklar lampu” Indah memberikan usulan.

“Ngga ada salahnya juga dicoba” Ali setuju dengan ide Indah.

Mereka kembali menyusuri lorong-lorong gelap itu dan berharap menemukan sebuah saklar atau sekering listrik. Dan klik! Frank menemukan sekering listrik dan menyalakannya. Dengan segera lorong-lorong itu sedikit terang meski lampu disitu tampak remang-remang.

“Ya lumayanlah, setidaknya kita bisa hemat senter” kata Ali sambil manggut-manggut.

Mereka bertiga kembali masih berjalan. Lorong itu memang sengaja dibuat panjang, agar lokasinya tidak mudah dijangkau oleh pasukan musuh bila ketahuan.

“Harusnya didepan ada pintu lagi sih” kata Frank sambil melihat peta ruangan itu.

“Maksud lo yg itu?” Ali menunjuk ke arah sebuah pintu yg terbuat dari besi.

“Mungkin, kita coba buka aje cuy” Frank mulai berlari kecil ke arah pintu besi itu.

“Kok kayak ngga dikunci ya?” Frank menganalisis sedikit pintu itu “Li, bantu gue buka pintu ini dong”

Ali menghampiri Frank dan membantu Frank untuk membuka pintu besi. Karat-karat di pintu itu sedikit menghambat mereka, tapi mereka sukses membuka pintu itu dalam sekejap.

BOK!!!

Tiba-tiba kepala Frank dipukul oleh benda tumpul. Beruntung, Frank menggunakan helm pada saat itu jadi dia tidak pingsan. Dalam waktu sebentar, Frank menyorotkan senternya ke arah pemukul itu.

“Frank?” Sarah terheran-heran “Kak Ali? Kak Indah??”

“Lah, Sarah?? Ngapain lo ada disini?” Frank balik bertanya, “Duh, lumayan loh pukulannya”

“Ih maaf-maaf” Sarah langsung minta maaf pada Frank padahal sebenernya ngga perlu-perlu amat.

“Selow kok, lo sendirian disini?” tanya Frank pada Sarah.

“Jangan modus Frank, ini lagi kondisi susah” potong Ali. Mungkin karena kecapean, pola pikirnya jadi ngelantur sedikit.

“Kaga woy, jangan ngomong yg aneh-aneh dah” Frank mulai sewot. Tumben banget Frank sewot sama Ali.

“Haha, ngga kok, gue ngga sendiri disini, ada yg temen-temen kok disini” Sarah mulai berjalan di depan mereka “Yuk, gue anter ke tempat temen-temen”

Kini mereka berjalan berempat, menuju ke tempat teman-teman yg mungkin mereka kenal.

“Sarah, kok lo ngga…….Frank? Kak Ali? Kak Indah?” Yohana, Ase, dan Dea kaget dengan kehadiran mereka bertiga.

“Haloo kalian semua” jawab mereka bertiga serempak.

“Kok Frank sama Kak Ali pake baju begituan?” Ase mulai kebingungan “Jangan-jangan kalian…..”

“Ngga, kami bukan bagian dari pasukan musuh kok” Ali memberikan penjelasan “Justru kami harus numpasin mereka semua”

“Bener apa kata Ali” Frank menambahkan “Eh btw, kok kalian bisa masuk ke ruang rahasia ini?”

“Sebenernya, kita itu lagi sembunyi Frank dari musuh-musuh itu” kata Dea memberi jawaban “Terus kita lari dibawah-bawah got gitu, terus nemu pintu, yaudah deh kita berempat masuk”

“Wow, kuat juga ya kalian buka pintu besi yg itu” Ali malah terkagum-kagum dengan keempat wanita ini.

“Tapi waktu itu, pintu besi itu kebuka, jadi aja kita masuk” Yohana menambahkan penjelasan Dea “Tapi karena keras, kayaknya ngga kekunci bener”

Pantas Yohana, Sarah, Dea, dan Ase bisa masuk, toh pintunya terbuka. Tapi yg penting saat ini adalah mereka bisa mengamankan diri dari pasukan musuh. Frank dan Ali tidak masalah tempat yg seharusnya menjadi tempat peristirahatan mereka ini menjadi tempat perlindungan mereka berempat, apalagi isinya wanita semua.

“Oh ya satu hal lagi” Frank berlagak serius “Bagaimana kalian bertahan hidup? Apa ada akses keluar yg aman untuk mengambil bahan makanan?”

“Ada kok Frank” Yohana menjawab dengan pasti “Ada disitu tuh”

Yohana menunjuk ke arah sebuah tangga sederhana yg panjang ke arah atas. Ujung dari tangga itu menembus ke jalanan. Tempat persembunyian ini juga disamarkan sebagai saluran air.

Ali mencoba memanjat tangga itu dan mengintip sedikit kondisi di luar. Berdasarkan penglihatannya di dekat situ ada toko roti dan mini market lagi. Setidaknya itu cukup bagi para wanita untuk bertahan hidup.

“Ada akses jalan, dan keliatannya cukup aman” kata Ali sambil menuruni tangga.

“Sip, ntar kita keluar lewat situ aja” kata Frank

“Eh boleh ngga kita ikut istirahat sebentar disini?” Ali meminta izin untuk ikut istirahat sejenak, “Gue bener-bener butuh istirahat nih”

“Boleh, boleh kak!” Ase mengiyakan permintaan Ali, “Lagian sekarang udah jam 8 malem kak”

“Sip deh kalo begitu, thanks ya!” Ali langsung duduk bersandar.

Jam demi jam mereka lewati dengan berbagai cerita. Dari Frank dan Ali yg ditarik menjadi anggota Unit Rahasia Sektor 1077, Indah yg melarikan diri dari pasukan musuh, hingga para wanita yg ada di tempat persembunyian. Tak terasa, Indah, Dea, Ase, Yohana, dan Sarah tertidur.

Sambil menikmati kopi hasil ‘merampok’ di mini market, Ali mengajak Frank untuk pergi pada saat subuh nanti untuk melanjutkan misi mereka.

“Gimana kalo pas subuh kita berangkat lagi Frank?” ajak Ali pada Frank sambil meminum kopi.

“Gue sih ayo-ayo aja, tapi setidaknya kita kasih catetan kecil aja kalo mereka jangan kemana-mana” kata Frank “Indah juga menurut gue harus tinggal sementara dulu disini”

“Ya, terlalu bahaya kalo dia ikut-ikut kita terus” sambung Ali senada dengan Frank, “Alangkah baiknya jika kita istirahat barang 1-2 jam buat memulihkan stamina”

“Tapi jangan kelamaan….” Frank mengingatkan “Kalo kelamaan, badan kita tambah lemes nantinya”

“Nggalah, kita duduk-duduk santai aja” Ali mulai menyenderkan badannya ke tembok sambil meminum kopi. Frank juga melakukan hal yang sama. Mereka pun memejamkan mata untuk sejenak.

Frank dan Ali terbangun. Mereka sadar kalau mereka harus meninggalkan tempat ini dengan cepat. Alhasil, mereka memutuskan untuk berdiam diri dulu hanya dalam 30 menit saja sebelum keluar. Disaat itu, mereka menulis sebuah pesan di kardus dengan menggunakan spidol.

“Selesai, kita tempelkan ini dipintu itu” kata Frank

“Tapi kita harus tutup pintunya pelan-pelan” kata Ali “Berabe kalo mereka nahan-nahan kita supaya tetep disini”

Frank dan Ali pun menempelkan kardus itu dipintu. Dengan segera, mereka menutup dan mengunci pintu itu pelan-pelan supaya tidak terdengar oleh teman-teman mereka.

“Saatnya menjadi pencabut nyawa Frank……” Ali berkata dengan mantap “Kau siap ?”

“Gue siap kapan aje cuy” Frank membalasnya dengan mantap juga.

Mereka berdua berjalan lagi menyusuri lorong-lorong yang remang-remang itu. Demi keamanan, mereka mematikan lampunya supaya tidak ketahuan oleh pasukan musuh.

Hari masih gelap, mereka yakin pasukan musuh sedang dalam keadaan tidak siaga. Mereka merasa inilah saatnya untuk menggempur pasukan musuh. Mereka harus melakukannya dengan cepat dan efektif, mengingat amunisi mereka yang sudah menipis.

Satu persatu pasukan musuh mereka habis. Baik dengan baku tembak, lagi dikamar mandi, maupun saat mereka tertidur. Kelakuan Frank dan Ali sudah layaknya malaikat kematian atau malaikat pencabut nyawa. Masa bodoh dengan kondisi musuh, yang penting mereka berdua bisa menang.

“Bos, mereka mulai menyerang bos!” teriak salah satu anggota pasukan musuh.

“Apa ?! Lokasi mereka dimana sekarang ?” Edge terjaga dari tidurnya dan mulai mengecek setiap kamera pengawas.

“Mereka sudah mendekati daerah Stasiun Kereta Api” lanjut salah satu pasukan yg panik.

“SIALAN!!! KENAPA MEREKA BISA SAMPAI KE TEMPAT ITU DENGAN CEPAT ??!! PASUKAN YANG JAGA PADA KEMANA ??!!” Edge jelas marah besar disini. Wilayah kekuasaannya makin lama bisa dikuasai oleh Frank dan Ali.

“Mereka tidak menjawab saat saya menngecek, koneksi kamera pengawas pun hilang, saya rasa mereka mati…..” jawab anggota pasukan musuh.

“BANGSAT! Kalian sekarang keluar dan serbu mereka berdua, gue bakal ambil senjata gue dan bergabung dengan kalian nanti!!” Edge langsung pergi meninggalkan pasukannya.

Pasukan musuh pun langsung meninggalkan markas mereka dan mulai mengejar Frank dan Ali. Keberadaan pasukan musuh yg berisik tentu diketahui oleh Frank dan Ali yg langsung memutuskan untuk sembunyi.

“Kita bisa lawan mereka Li, kita baru aja ngerampas senjata musuh yg kita bunuh” Frank mengisi senjatanya dengan peluru. Dua-duanya hasil merampas dari pasukan musuh yg telah mereka bunuh.

“Tetep aja kita harus waspada, kalo ngga kita bakal…….”

Belum selesai Ali berbicara, tembakan sniper hampir saja mengenai mereka berdua. Beruntung hanya ayam yg kena tembakan itu.

“…….mati……LARI FRANK !!!” Ali mengisyaratkan Frank untuk menyelamatkan diri.

“Ayamnya ngga kita bawa nih ?” Frank dengan polosnya membawa ayam yg kena tembak tadi.

“Ngapain bego ?!!! Udah lepas terus lari, ngga ada waktunya buat mikirin ayam !” Ali langsung pergi begitu saja dari situ.

Frank pun menyusul lari. Ali tampak terengah-engah karena senjata sniper rifle yg berat cukup membuatnya menguras tenaga lebih banyak. Frank terpaksa menggunakan dua senjata untuk melindungi Ali. Tak ayal, satu tembakan dari Edge tepat mengenai kakinya.

“AARGGHH!!! KAKI GUE!!!” Frank menjerit kesakitan.

“FRANK!!” Ali mendekatinya.

Luka Frank tidak terlalu dalam. Ali mengeluarkan pisaunya dan mulai menusukkan pisaunya di kaki Frank. Jelas Frank menjerit tambah keras, tapi ini usaha untuk membuat Frank tetap bisa berlari. Peluru itu bisa dikeluarkan, dan Ali membelitnya dengan lengan bajunya setidaknya bisa mengurangi pendarahannya.

“Gimana kalo kita bikin rencana ?” kata Frank tiba-tiba.

“Rencana begimana ?” Ali bertanya.

“Lo fokus sama si Edge itu, biar gue tumpas sisanya, begimana ?” Rencana Frank kali ini sangat ekstrim.

“Lo gila kali yak, lo bisa aja kebunuh Frank” Ali kurang setuju dengan rencana Frank.

“Begini lebih baik Li, supaya kita bisa lanjutin perjalanan ke UNPAR” Frank memberikan pemahaman pada Ali. Ali mau tak mau setuju dengan rencana Frank.

“Oke, lo langsung ke arah Hotel Hilton itu yak, gue bakal nahan pasukan disini” kata Frank sambil mempersiapkan senjatanya “Kita tukeran senjata, gue dapet satu sniper tadi”

Ali memberikan senjatanya dan menggunakan sniper yg Frank rampas dari pasukan musuh. Mereka awali dengan melemparkan Smoke Grenade agar pergerakan Ali tidak diketahui musuh. Ali dengan sukses masuk ke dalam Hotel Hilton, dan saatnya Frank beraksi sekarang.

“Rasakan ini !!!” Frank menembaki pasukan musuh dari balik asap hasil Smoke Grenade tadi secara membabi buta. Dalam benaknya, dia berharap Ali menemukan Edge dan langsung mengeksekusinya.

Pasukan musuh terlalu banyak. Frank terpaksa melarikan diri dari situ dan mulai berlari ke arah Hotel Hilton. Frank tidak bisa berlari seperti biasanya mengingat luka dikakinya belum diobati.

“Mati….kau….” Edge berbicara dalam hati.

DOR!! Frank terkena tembakan di tangannya, tapi dia tidak peduli. Dia tetap berlari.

“Li ayo li…tembak Edge…..” pikir Frank. Disisi lain, Ali belum bisa menemukan posisi Edge ada dimana. Edge memang seorang sniper sejati. Beda dengan Ali yg Cuma sniper karbitan.

“Dimana kau Edge sialan” belum sempat Ali melihat teropongnya, dia kena serempet peluru Edge di pelipisnya.

“PANAS!!! SIALAN!!!!” teriak Ali sambil menutup pelipisnya. Darah segar mengucur dari pelipisnya. Penglihatan sebelah kanan terganggu karena darah itu.

DOR!!! Edge melepaskan tembakan lagi. Fatalnya, satu senjata Ali rusak terkena tembakan itu. Dengan cekatan Ali mengambil senjata yg masih selamat. Ali meyakini kalo Edge ada di tempat yg lebih tinggi dari dia.

Ali akhirnya menemukan Edge. Dia ada di rooftop gedung Kartika Sari. Ali langsung bergerak ke rooftop Hotel Hilton. Disitu Ali bisa melihat Edge sedang mengisi senjatanya.

“MATI KAU !” Ali melepaskan tembakan.

Tembakan Ali mengenai teropong senjata Edge. Dengan demikian, Edge akan kesulitan untuk menembak dari jarak jauh. Ali mengokang senjatanya dan menembakkan senjatanya sekali lagi. Kali ini tepat dikepala Edge. Edge pun jatuh dari rooftop Kartika Sari.

Ali langsung turun dari rooftop dan mulai mencari Frank. Sepertinya Frank sudah berlari entah kemana.

“Frank lo dimana?” Ali mencoba berkomunikasi dengan Frank.

“Gue terpaksa lari Li, ke arah BIP, lo duluan aja ke arah UNPAR” jawab Frank sambil terengah-engah.

“Okelah, ketemu di sono aja ye” jawab Ali sambil berlari ke arah utara.

Frank dan Ali akhirnya berada di jalan yg berbeda. Yang pasti mereka harus bisa bertahan hidup untuk sampai ke UNPAR. Mereka tidak boleh mati sebelum misi ini selesai.

THE SOLDIER RECON CHAPTER 5 : THE TWO GRIM REAPER (PART 1)

“Tetep waspada Frank, lo udah hampir mati 7 kali tadi” Ali mengingatkan Frank untuk jaga-jaga dan ngga sembrono.

“Iye, iye sorry” Frank mengaku salah disini. Hampir setiap langkah Ali selalu direpotkan oleh Frank.

“Udah dapet kabar dari Rere belom ?” kata Ali supaya Frank tetap mencoba untuk berkomunikasi dengan tim Rere dan Medina.

“Belom bro, susah banget, lo gimana ?” Frank balik nanya sama Ali.

“Kemal sama Zico susah dihubungin juga, ngga tau kenapa” Ali juga menemukan masalah yg sama.

“Yaudah deh, ntar lagi aja bro” Frank memilih untuk melanjutkan perjalanan mereka.

Sudah hampir 3 hari mereka menumpas pasukan teroris di area Cijerah. Bahkan mereka belum sampai di titik aman mereka di Kebon Jati. Setahu mereka, disitu juga ada tempat rahasia untuk mereka beristirahat, karena mereka hanya istirahat selama 2 jam saja.

“Lemes banget gue, mana obat gue abis lagi” Frank ingat obat asmanya habis. Akan menjadi cerita konyol kalo dia mati gara-gara asma, bukan ditembak musuh.

“Ada apotek tuh didepan, ambil beberapa aja, buat jaga-jaga” Ali langsung berjalan ke apotek yg sudah kosong itu, “Ngga kekunci bro, ayo masuk”

Mereka berdua masuk ke apotek itu. Frank mulai mengambil beberapa obat asma sambil minta maaf karena ngga bayar. Ali mencari-cari suplemen supaya ngga kelelahan di perjalanan nanti.

“Lo dapet obatnya Frank ?” kata Ali sambil memasukkan beberapa suplemen ke tasnya, “Bawa ini juga Frank, buat stamina tetep kuat”

“Udeh, udeh, thanks bro” Frank menangkap beberap suplemen yg dilempar Ali.

Mereka berangkat lagi. Hari sudah mulai gelap dan musuh pasti akan menyerang mereka disaat seperti ini. Tapi senjata dan mental mereka sudah siap untuk melawan pasukan musuh, buktinya mereka masih bertahan hidup sampai sekarang.

“Duh, pengen boker gue” Frank tiba-tiba nyeletuk.

“Makanya, kalo makan itu pilih-pilih” kata Ali mulai kesal “Lagian lo ngapain juga makanin roti yg udah basi”

“Mana gue tau itu roti udah basi” bantah Frank ngga mau kalah “Itukan ada di tas gue”

“Ya lo tetep perhatiin tanggal basinya” Ali bener-bener kesal sekarang “Itu basinya kapan ?”

“Sekitar 4 hari yg lalu sih” jawab Frank polos.

Ali hanya menepuk dahinya. Dia tidak berkomentar apa-apa lagi. Disaat seperti ini Ali mendengar ada suara-suara berisik di sebuah gang. Mereka berdua langsung menghentikan langkah mereka.

“Ssst, pelan-pelan” kata Ali “Mungkin itu pasukan musuh”

Frank mulai menyiapkan senjatanya dan mengarahkannya ke arah gang itu. Seketika ada seseorang yg keluar dari situ sambil berlari kemudian terjatuh. Dan dibelakangnya ada sekelompok orang yg membawa senjata.

Tanpa komando, Ali dan Frank mulai menembaki gerombolan bersenjata itu. Orang itu pun selamat sekarang. Mereka mendekati orang itu dan mereka mendapati kalau orang itu adalah teman sekampus mereka, Indah.

“Indah? Lo ngapain disini? Disini kan berbahaya” Frank membantu Indah berdiri.

“Iya, gue juga ngga tau kenapa bisa ada disini, yg gue tau, gue dikejar-kejar sama mereka semua” Indah menjelaskan kenapa dia bisa disitu “Tapi, kok kalian ada disini juga dan kenapa penampilan kalian seperti teroris-teroris itu ?”

“Kami dipilih untuk menumpas teroris-teroris itu” Ali menjelaskan pada Indah, “Lebih baik, lo ikut sama kami sekarang, kami bawa lo ke tempat yg lebih aman”

“Tapi agak jauh sih, di daerah Kebon Jati” sambung Frank untuk meyakinkan Indah tapi ujung-ujungnya membuat Indah ragu.

“Baiklah, tapi tempat itu benar-benar aman kan?” Indah memastikan sekali lagi kalau tempat tujuannya kali ini aman.

“Aman kok, aman” jawab Ali sama Frank bersamaan.

Tugas mereka kini lebih berat. Mereka harus menuju ke titik aman sambil mewaspadai pasukan musuh yg muncul. Disamping itu, mereka juga harus melindungi Indah agar tidak diculik musuh atau tertembak musuh. Kekhawatiran mereka menjadi kenyataan. Beberapa langkah mereka berjalan, pasukan musuh ada di depan mereka.

“Berlindung!!!” teriak Ali, “Frank, bawa Indah ke balik dinding itu!!”

Frank bergerak sambil menunduk dan menembaki musuh dan menjaga agar Indah tidak tertembak.

“Lo tunggu sini, gue bantu Ali dulu” Frank langsung bergabung dengan Ali menembaki pasukan musuh. Sayang, pasukan musuh banyak yg bersembunyi.

“Li, pake Nightvision!” kata Frank, “Gue nembakin yg keliatan, lo nembak yg sembunyi”

“Yg sembunyi mana bisa ditembak, bro ?!!” Ali bingung dengan pemikiran Frank.

“Maksud gue, pas mereka nongol lo langsung hajar pake Magnum!!” Frank menjelaskan maksud dari pemikirannya.

“Ohhhh, bilang dong kalo gitu” Ali menyiapkan senjatanya dan mulai memakai Nightvision.

“Makanya lo jangan kebanyakan makan mie instan” Frank kembali menembak pasukan musuh.

BANG!!! BANG!! BANG!!!!

Ali menembakkan sniper rifle-nya. Pasukan yg sembunyi pun menjadi korbannya. Urusan menembak tepat seperti ini memang Ali jagonya. Kalah strategi dan kecerdasan, pasukan musuh pun mundur mengingat banyak juga anggota mereka yg tewas menjadi korban Ali dan Frank.

“Bagus, mereka mundur” Ali tetap bersiap menembak jikalau ada musuh yg muncul, “Frank, lo coba liat situasinya, aman apa ngga”

Frank keluar dengan senjata siap ditangannya. Frank memastikan situasi disitu sudah aman.

“Oke, clear! Kita bisa jalan sekarang” Frank memberi tanda pada Ali dan Indah untuk segera keluar.

Peluru mereka sudah mulai menipis, dan pasukan musuh bisa muncul kapan saja. Sungguh situasi yg menyulitkan. Apalagi Frank, dia harus menahan buang air.

“Sumpah, gue udah ngga tahan banget nyet” Frank keringat dingin sambil memegang pantatnya, dia benar-benar sudah tidak kuat.

“Sabar dikit, di perhentian nanti ada WC pasti!” Ali terus menguatkan hati Frank. Indah hanya berharap mereka berdua tidak saling jatuh cinta.

Perjalanan terus dilanjutkan, kondisi di jalanan Cijerah menuju perhentian pertama di Kebon Jati masih jauh. Sesekali mereka berhenti untuk beristirahat untuk makan. Yang makan cuma Ali sama Indah, Frank terpaksa menunda makan malamnya dia sebelum “usaha-nahan-buang-airnya” dia tidak sia-sia.

“Oya, kita udah sampe dimana ini?” Indah bertanya pada mereka berdua.

“Di deket-deket Jalan Rajawali” jawab Ali cuek sambil makan.

“RAJAWALI?!!!!” Indah sontak kaget, dia sadar dia ada di daerah yg tidak dia kenal.

“Ssttt!! Jangan teriak-teriak, pasukan musuh bisa denger kita” Frank mengingatkan Indah untuk tetap waspada.

“Ups, maaf….tapi….gue bener-bener ngga tau daerah ini” sekarang Indah bingung dengan daerah yg dia tempati sekarang.

“Emang selama lu….lari…lu ngga….” Frank bertanya sambil bersusah payah menahan buang air.

“Ngga, gue asal lari aja, yg penting gue mikirnya selamat dulu dari musuh-musuh itu” jawab Indah polos.

Lengkap. Jaga diri masing-masing saja sulitnya minta ampun. Kini ditambah Indah yg memang tidak tahu kondisi di daerah Jalan Rajawali.

Tiba-tiba ada yg suara yg datang menuju arah mereka. Dan suara itu semakin lama semakin mendekat.

“Meoonngg”

Ternyata hanya seekor kucing, Frank dan Ali mulai mendekati kucing itu dan ingin mengelusnya. Tapi mereka sadar satu hal, kucing itu ditanami bom yg siap meledak kapan saja.

“Menghindar!! Kucing itu ada bomnya” Ali dengan segera menyergap Frank sambil meloncat.

BUARRRRRR!!!!!! Kucing itu meledak seketika. Frank dan Ali hanya terkena cipratan darah kucing itu saja.

“Mereka menggunakan kucing sebagai senjata?!!” Frank sungguh tidak percaya, “Dasar mereka manusia biadab”

“Boleh saja lo bilang gitu, tapi mending kita cari pom bensin atau WC umum” kata Ali sambil menutup hidungnya “Lo udah kentut-kentut mulu dari tadi”

“Kalo begitu ayo cepat, siapa tau dijalan kita nemu mini market jadi kita bisa ambil beberapa makanan untuk diperjalanan” Indah sependapat dengan Ali.

Mereka bertiga kembali melanjutkan perjalanan mereka. Yang menjadi poin penting disini adalah membiarkan Frank buang air terlebih dahulu agar perjalanan mereka tidak terlalu terganggu dengan ocehan Frank. Kedua, menemukan mini market karena persediaan makanan mereka sudah mulai menipis.

Mungkin dewi fortuna sedang menaungi mereka kali ini. Mereka menemukan mini market lengkap dengan WC-nya juga. Jadi, saat Frank buang air, Ali dan Indah bisa mengambil beberapa cadangan makanan.

“Frank, bantu gue dobrak pintunya dong” Ali jelas minta bantuan Frank.

BRAKKK!! Frank langsung menendang pintu mini market dan langsung menuju WC. Memang kekuatan seseorang bertambah beribu-ribu kali disaat ingin ke WC.

“Hebat……” Ali hanya bisa berkomentar saja.

“Selama Frank masih di surganya dia, mending kita ambil makanan aja” Indah menarik lengan Ali.

Mereka tidak tahu padahal selama perjalanan ada pasukan musuh yg membuntuti mereka bertiga.

Frank yg sudah selesai dengan urusannya di kamar mandi ikut bergabung mengambil makanan bersama Ali dan Indah.

“Li, lo tau ngga kalo kita diikutin sama pasukan musuh?” Frank berbicara pada Ali sambil berbisik.

“Dimana?” Ali terheran-heran kenapa Frank tiba-tiba memberitahunya seperti itu.

“Gue liat mereka pas keluar dari kamar mandi.” lanjut Frank, “Sepertinya mereka mau nembakin kita pas keluar dari mini market ini”

“Yaudah, lo temenin Indah ambilin makanan, gue cek dulu sebentar apa ada pintu keluar di belakang mini market ini” Ali langsung bergerak ke belakang mini market.

Nihil. Tidak ada pintu belakang, meskipun dibelakang mereka ada gang kecil. Yang ada hanyalah jendela kecil di WC.

“Cuma ada jendela kecil, itupun di WC” kata Ali sambil terengah-engah, “Terpaksa kita lewat situ aja, sekarang bergerak satu-satu supaya ngga terlalu mencurigakan”

Mereka bertiga langsung menarik Indah. Indah mendadak tegang karena dia dibawa ke WC. Mereka bertiga masuk dan mengunci WC itu. Ngga, mereka bukan mau nyuruh Indah sikat gigi. Setelah menjelaskan kalau mereka dibuntuti musuh, Indah akhirnya bisa mengerti.

“Oke Li, lo yg pertama karena badan lo paling gede disini” Frank menyuruh Ali untuk duluan naik, “Cepet kita ngga punya banyak waktu, sekalian sama tas-tas kita”

“Iye, iye” Ali naik sambil susah payah, “Boleh dorong dikit? Gue ngga muat nih lewat sini”

Serempak Indah dan Frank dorong-dorong Ali supaya bisa keluar dari situ. Berhasil, Ali mendarat dengan mukanya lebih dulu.

Mulai terdengar suara-suara berisik. Frank menduga kalau pasukan musuh udah mulai masuk ke mini market.

“Li, tangkep Indah” Frank mendorong sedikit Indah agar bisa lebih cepat keluar dari mini market, “Sekalian lo pastiin, apa semua pasukan musuh masuk ke sini atau cuman beberapa orang doang”

Hupla. Ali menangkap Indah. Ali langsung mengecek ke depan dengan perlahan-lahan. Ada sekitar 4 orang yg menunggu diluar, tapi mereka perlahan-lahan masuk ke mini market itu.

“Ada 4 orang Frank yg bakalan masuk” Ali memberikan informasi sama Frank.

“Oke, gue punya rencana kecil disini” Frank tidak langsung meloncat keluar jendela, “ Gue pancing itu musuh ke dalem WC ini, lo pelan-pelan ngendap ke sono, kunci WC-nya dari luar. Nah pas beres konci lo langsung ke luar lagi, gue bakal lempar bom dari jendela WC.”

Brilian. Idenya Frank sungguh brilian. Mungkin ini efek dia sudah buang air, pikirannya juga jadi ikut lancar. Ali menyuruh Indah cari tempat sembunyi yg lumayan jauh. Supaya ngga kena efek ledakan. Ali langsung mengendap-ngendap masuk.

“WOY, GUE DISINI!!!” Teriak Frank untuk memancing pasukan musuh.

Dalam hitungan detik, pasukan musuh mulai menembaki Frank tapi tidak ada yg kena. Frank berlari menuju WC. Disaat yg sama Ali memasuki mini market tanpa sepengetahuan pasukan musuh. Saat semua pasukan musuh memasuki WC, Ali mendorongnya hingga pasukan musuh itu jatuh. Ali langsung menguncinya menggunakan sapu dan alat pel, dan dia yakin kalau pintu itu akan sulit dibuka karena pintu WC dibuka ke luar, bukan ke dalam.

“Frank sekarang !!” teriak Ali memberikan aba-aba pada Frank.

Frank yg sudah diluar, langsung melemparkan 2 buah High Explosive Grenade. Dan pasukan musuh pun tewas seketika di dalam mini market itu.

“Berhasil!” Ali gembira luar biasa, “Tumben lo pinter Frank”

“Pikiran gue itu lancar disaat lagi nongkrong di WC cuy, keren kan?” Frank merasa kegantengannya meningkat 20%.

“Yaudah yuk, sekarang kita ke tempat Indah sembunyi” Ali langsung memimpin jalan.

Mereka bertemu dengan Indah lagi disebuah rumah kecil disitu. Mereka melanjutkan perjalanan mereka.

Mereka tidak menyadari masih ada musuh yg mengawasi mereka dalam perjalanan menuju ke pemberhentian pertama di Kebon Jati. Musuh yg benar-benar harus mereka waspadai. Musuh yg tak pernah menunjukkan siapa dirinya, karena di setiap dia menunjukkan dirinya, lawannya sudah terlebih dulu mati.

 

Dia adalah Edge………..

 

To be Continued……….

THE SOLDIER RECON CHAPTER 4 : WOMEN’S POWER (PART 2)

DOR!!! DOR!!! DOR!!!

“Jumlah mereka terlalu banyak Med” ujar Rere, “Lebih baik kita jangan dulu melawan”

Pasukan teroris menembaki mereka setelah hampir 3 jam meninggalkan bunker itu. Masalahnya, jumlah pasukan musuh lebih banyak dari yg mereka tumpas kemarin. Mereka melepaskan senjata secara membabi buta. Rere meyakini ini adalah perintah dari Vic.

“Kita harus memutar Re” Medina memberikan ide pada Rere, “Dengan memutar, setidaknya kita bisa menumpas mereka dari belakang.”

“Benar, nanti kita pikirkan strategi berikutnya.” Rere menyetujui idenya Medina, “Dalam hitungan ketiga! Satu, dua, TIGA !!!”

Rere dan Medina dengan segera berputar mengitari gedung yg menjadi perisai mereka saat ini. Mereka muncul di sudut jalan yg lain dan mulai menembaki pasukan musuh dari belakang secepat mungkin.

“Ayo Medinaaa!!” Rere menyemangati Medina supaya tidak kehilangan semangat bertarungnya.

“Lo juga Re! Jangan biarkan mereka merajalela !!!” Medina tidak mau kalah sama Rere.

“Yang kalah, harus traktir makan nanti !” Rere masih sempat memikirkan makanan dikala seperti ini. Dia memang makhluk yg aneh saat ini. Mungkin otaknya sudah ketularan pecicilan dari Ali.

“Gue pasti menaaanng !!” Medina tidak mau kalah sama Rere dan jelas dia tidak mau traktir makan Rere.

Pasukan musuh terheran-heran. Karena terlalu heran, mereka malah terbantai dengan cepat. Ini diantara Medina dan Rere yg memang hebat akhir-akhir ini atau memang pasukan ini adalah pasukan yg paling bodoh diantara yg lain.

“Bodohnya pasukanku……” Vic yg diam-diam mengamati dari jauh hanya bisa menepuk dahinya.

Karena keasyikan menembak, Rere dan Medina tidak sadar kalau senjata mereka perlu diisi ulang. Mereka langsung kembali berlindung.

“Med, ada pintu kecil disini. Mungkin kita bisa melewatinya.” Rere menemukan sebuah pintu kecil untuk masuk ke gedung itu.

“Ya, tapi……” Medina merasa tidak yakin “Apakah badanku muat melewati itu ?”

“Tentu saja bisa, kalau Kemal baru tidak muat” Rere berusaha meyakinkan Medina.

Mereka berdua akhirnya berusaha melewati pintu kecil itu. Mudah. Dalam sekejap mereka berdua sudah ada di dalam gedung itu.

“Sekarang mari kita isi senjata kita dulu, setelah itu kita tembaki mereka dari atas” kata Rere. Rere memang cepat berpikir disaat terdesak seperti ini.

Rere dan Medina dengan cepat mengisi ulang senjatanya dan langsung berlari ke lantai 4 gedung itu. Mengintip dari jendela untuk meyakinkan kalau pasukan musuh masih ada di sekitar mereka.

“Mereka ada disekeliling gedung ini” ujar Medina, “Bagaimana kalau kita lemparkan Flashbang dan High Explosive Grenade lalu kita tembak mereka dari sini ?”

“Ide yg bagus” Rere sangat setuju dengan ide Medina yg tadi, “Gue ngurus di bagian sini, lo yg disana.”

Flashbang pun dilemparkan dari atas. Pasukan musuh buta seketika, dan mereka pun melemparkan Flashbang lagi agar pandangan pasukan itu makin terganggu dilanjutkan dengan melemparkan High Explosive Grenade secara beruntun.

BUMMM !!

Bom-bom yg dilemparkan Medina dan Rere terdengar sangat keras. Saat itu pula Medina dan Rere langsung menembaki pasukan dari atas. Pasukan musuh langsung mundur, karena mereka kalah strategi dan jumlah orang yg berkurang dengan drastis.

“Bagus” Medina bergumam dalam dirinya sendiri, “Setidaknya kita bisa mengambil nafas dulu sejenak.”

“Sekalian kita mengambil senjata pasukan musuh yg sudah tewas, ya semacam bom atau peluru lainnya, siapa tau cocok dengan senjata kita.” Rere langsung berjalan menuju ke pintu kecil itu.

Clear” kata Rere memberikan tanda kalau disekitar gedung itu sudah aman.

Medina mengikuti Rere keluar dan mulai memeriksa pasukan musuh yg sudah tewas. Lumayan, mereka mendapatkan beberapa peluru dan bom, bahkan mereka menemukan chocolate bar.

Mereka kembali berjalan, melanjutkan perjalanan. Hari sudah siang, matahari bersinar dengan teriknya di atas mereka. Tapi mereka tidak peduli, yg mereka pedulikan sekarang adalah nyawa-nyawa yg dijadikan sandera di UNPAR.

Mereka harus tetap waspada. Sewaktu-waktu, pasukan musuh atau pimpinannya bisa saja muncul di depan mereka. Setiap langkah, setiap jam, mereka bertemu anggota musuh yg bersembunyi dan berniat untuk membunuh mereka.

Tanpa masalah, mereka bisa mengatasinya. Kini mereka berdua sudah terbiasa dengan keadaan seperti ini dan menembak dengan cepat. Tak terasa, sedikit lagi mereka akan sampai di perbatasan kota, tepatnya di daerah Kebon Waru, tempat vokalis terkenal pernah ditahan.

“Eh ini penjara Kebon Waru kan ?” Medina bertanya pada Rere, “Tempat Arul di tahan gara-gara video skandalnya itu kan ?”

“Ya, kau benar Med” Rere melihat-lihat keadaan Kebon Waru dari luar, “Cukup luas disini, bagaimana kalau kita istirahat sebentar disini ?”

Tanpa komando, Medina sudah memanjat pagar penjara itu. Rupanya dia sudah mulai kelelahan, “Ayo Re, gue bantu naik”

Rere hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia pun langsung memanjat naik pagar itu. Pohon rindang di dalam penjara itu menjadi pilihan mereka untuk beristirahat sejenak. Mereka membongkar tas mereka dan mulai menikmati makanan yg mereka bawa meski itu hanya berupa chocolate bar.

“Entah kenapa coklat ini terasa begitu enak sekali” Medina membuka obrolan dikala senggang mereka.

“Itu karena lo terlalu lapar Med, makanya enak, hahaha” canda Rere disela-sela waktu makan mereka.

Disisi lain, Vic sangat murka pada bawahannya.

“Bodoh kalian, bisa-bisanya kalian dihabisi dalam sekejap oleh dua orang wanita itu” Vic mengumpat pada anggotanya yg hanya tersisa sekitar 16 orang saja.

“Sekarang, gue ngga mau tau, yg disini bareng gue hanya 9 orang, sisanya keluar dan habisi dua wanita itu !!” perintah Vic. Vic sudah sangat kesal dengan keadaannya. Vic sadar kalau dia semakin terdesak.

Pasukan musuh mulai bergerak ke arah Medina dan Rere beristirahat. Mereka berdua tidak menyadari itu. Mereka baru sadar saat salah satu dari pasukan itu menginjak sebuah botol.

“Siapa itu ?” Rere kaget dan berdiri sambil memegang senjata. Pasukan musuh langsung menembakkan senjatanya.

“Medina, kita diserang! Cepat berlindung!” Rere menarik Medina dan mulai berlindung dibalik salah satu dinding.

“Siapkan senjata, disaat lengah kita tembak mereka” perintah Rere pada Medina.

Baku tembak tak terhindarkan lagi. Dengan efektif dan akurasi yg mulai meningkat, Medina dan Rere menghabisi pasukan musuh yg datang. Beruntung, pasukan yg datang hanya 7 orang dan mereka bisa menghabisinya dengan cepat.

“Bodoh! Bodoh! Bodoh!” Vic mulai kesal dan dia mengambil senjata dan perlengkapan lainnya, “Kalian ikut denganku sekarang juga!”

Vic meninggalkan markasnya dan mulai berjalan mendekati posisi Medina dan Rere. Mereka meyakini kalau Vic akan segera muncul di hadapan mereka.

Mereka keluar dari penjara itu. Berjalan dengan sangat perlahan, mengawasi dan mewaspadai setiap pergerakan yg ada. Dari peta yg mereka dapat dari Farandy, seharusnya mereka sudah mendekati area markas musuh. Tiba-tiba terdengar suara sirine. Rere dan Medina tambah waspada. Mereka curiga pasukan musuh akan segera tiba didepan mereka.

“Hei kalian! Akhirnya kita bertemu juga!” secara mendadak, Vic muncul dihadapan mereka sekarang.

“Siapa kau ?” Medina mulai curiga.

“Gue Vic dan gue akan membunuh kalian sekarang juga sehingga gue bisa meminum darah kalian!” Vic menjawab sambil memberi ancaman.

Perkataan Vic tadi membuat Rere dan Medina merasa jijik. Inilah pimpinan yg harus mereka kalahkan untuk memudahkan perjalanan misi mereka.

“Kurasa kami tidak akan mudah dikalahkan oleh wanita aneh sepertimu” timpal Medina pada Vic.

“Hahahahahaha” Vic tertawa dengan keras “Bersiap-siaplah karena area ini akan menjadi kuburan bagi kalian berdua.”

“Habisi mereka !” Vic menyuruh sisa anggotanya untuk menyerbu Rere dan Medina. Terpaksa, Medina dan Rere berlari ke arah yg berbeda.

“Sepertinya kita harus berpisah, agar lebih mudah menghabisi mereka semua” Rere langsung berlari ke arah kiri.

“Ya, kita bertemu nanti” Medina melanjutkan pelariannya ke arah kanan.

Ada 4 orang yg mengikuti Rere dan sisanya mengikuti Medina. Sambil bersembunyi Rere sudah mengisi peluru di senjatanya. Dia langsung menggunakan 2 handgun sekaligus.

“Mati kalian!” Rere keluar dari persembunyiannya sambil melompat dan menembaki pasukan musuh. Peluru tembakan dari Rere bersarang dikepala anggota-anggota itu.

“Pekerjaan mudah, saatnya membantu Medina” Rere mulai berlari ke arah Medina.

Medina, yg bersembunyi dibalik pohon juga sudah menyiapkan senjatanya. Sama seperti Rere, dia menggunakan 2 sub-machine gun secara langsung.

“Selamat tinggal kalian semua…..” ucap Medina sambil menembakkan senjatanya. Semua anggota pasukan sudah dilumpuhkan. Mereka berdua tinggal berhadapan dengan Vic.

Mereka bertemu langsung di sebuah lapangan. Hanya ada 3 wanita disitu, Rere dan Medina melawan Vic si Wanita-Psikopat-Menjurus-Gila.

“Rupanya pasukanku sudah kalian habisi, tapi tidak apa-apa” Vic mengeluarkan pistolnya “Mereka memang tidak berguna….”

Medina dan Rere langsung melarikan diri dari sana. Di area terbuka, mereka akan kalah total dari Vic. Mereka butuh sebuah rencana untuk mengalahkan Vic.

“Mau kabur kemana kalian, hahaha” Vic mengejar mereka berdua sambil menembakkan senjatanya. Beruntung, Vic matanya sedikit juling jadi tidak ada yg kena.

“Kalian bisa bersembunyi tapi tak bisa kabur dari gue!” Vic masih menembakkan senjatanya. Dia tidak tahu kalau Medina dan Rere sedang bersiap-siap menyergapnya dari samping.

“Sekarang!”

Medina dan Rere melompat bersamaan. Mereka mengekang Vic dari kiri dan kanan. Tapi usaha mereka gagal, Vic terlalu kuat. Hanya dengan dua kali ayun, Medina dan Rere terhempas ke tanah.

Vic menghampiri Rere dan mulai memukulnya. Rere kesulitan menghadangnya karena Vic memiliki tenaga yg lebih besar. Disaat itulah, Medina melompat ke punggung Vic sambil mencekiknya.

Vic terjatuh ke arah belakang menimpa Medina. Dalam kondisi itu, Vic menggunakan sikutnya untuk memukul perut Medina. Akibat pukulan keras itu, Medina mengeluarkan darah dari mulutnya.

“Hmmm,, darah segar” ujar Vic yg tak lama langsung menjilat darah itu.

Sesaat Vic lengah, Rere bangkit dan menendang kepala Vic untuk menolong Medina.

“Rasakan ini!” Rere menggunakan kakinya untuk membuat Vic pingsan. Disaat inilah mereka berdua kabur dan bersembunyi.

Hari mulai gelap. Bukan karena sudah malam tapi awan mendung menaungi mereka saat ini. Lalu, hujan mulai turun dan membasahi tanah yg penuh dengan bangkai-bangkai gedung dan mayat-mayat.

“Lo ngga apa-apa Med?” Rere khawatir dengan keadaan Medina.

“Ngga apa-apa Re” Medina menjawab, “Ini udah jadi resiko kalau menjalani misi seperti ini”

Disaat yg sama, Vic mulai sadar dan dia bangkit.

“Dasar wanita sial” Vic mengeluarkan 2 pisau sekaligus, “Akan kucincang kalian!”

Vic berjalan sambil menggesekan pisau-pisau itu di gedung-gedung tua. Menakut-nakuti Rere dan Medina.

“Dia sudah bangkit lagi..” Medina melihatnya dari balik dinding tempat mereka sembunyi, “Apa yg harus kita lakukan sekarang ?”

“Lebih baik kita membuat jebakan” Rere mengajak Medina untuk membuat jebakan, “Mumpung dia berjalan ke arah yg salah”

Mereka berdua kebingungan akan membuat jebakan seperti apa. Tiba-tiba Medina menemukan ide.

“Bagaimana kalau kita gunakan bagian bawah bangunan kecil itu, kita pasang dengan bom ledak yg kita punya yg kita sambungkan kuncinya lalu saat mereka masuk, kita tarik kuncinya ?” kata Medina, “Tapi itu akan membutuhkan waktu yg cukup lama.”

“Apa salahnya mencoba ?” Rere menyanggupi rencana ini “Ayo kita buat !”

Mereka berdua langsung menuju bangunan kecil itu dengan perlahan agar tidak ketahuan oleh Vic. Sukses. Mereka melihat-lihat sekeliling siapa tau ada alat-alat yg mereka bisa gunakan sebagai jebakan. Hasilnya tidak buruk, mereka menemukan selotip dan tali pancing.

“Ini bisa kita manfaatkan” Rere langsung menempelkan bom di sekitar dinding dan berupaya agar bom-bom itu tidak terlihat, “Gue udah tempelin bomnya, sekarang lo ikat pake tali pancing setiap kuncinya.”

Tanpa bertanya, Medina langsung mengikat kunci-kunci bom itu. Jadi, hanya dengan sekali tarik, bom itu akan meledak secara bersamaan.

“Gue sudah beres mengikatnya” tapi Medina memiliki pertanyaan di kepalanya “Nanti siapa yg akan memancing dia kesini ?”

“Gue aja” Rere mengajukan diri untuk menjadi umpan, “Jadi nanti lo tunggu sampai gue masuk ke pintu belakang itu, baru lo tarik talinya.”

Jebakan yg sangat bagus, tapi timing akan menjadi hal yg krusial nantinya.

“Lo tunggu disitu, biar gue yg menarik perhatian Vic.” Rere menyiapkan senjatanya.

Rere keluar menampakkan diri sambil menembak dengan handgun yg dia miliki hingga pelurunya habis. Pada saat itulah, Rere mulai berlari dan memasuki bangunan itu.

“Disitu rupanya..” Vic mulai tersenyum kejam “Bersiaplah untuk mati!”

“Sini kalau berani, tangkap gue kalau lo bisa !!” tantang Rere kepada Vic, “Sini, lawan gue sini.”

Entah apa yg dipikirkan oleh Rere saat itu. Yang pasti Rere memastikan Vic berlari mengejarnya hingga memasuki bangunan kecil itu. Medina mendengar suara pintu tertutup dan mulai menarik tali pancing itu. Vic yg sudah masuk ke dalam jebakan mereka berdua terlambat untuk menyelamatkan diri.

“Memang dasar kalian wanita sialan……” ucap Vic menyadari dia telah jatuh dalam jebakan yg dibuat oleh Medina dan Rere.

BUMMM !!! BUARRRR!!

Asap hasil ledakan membumbung tinggi di angkasa. Rencana mereka berhasil. Tapi Rere tidak terlihat setelah ledakan itu. Medina takut kalau Rere terkena ledakan itu. Dan apa yg ditakutkan oleh Medina itu terjadi. Dia melihat Rere tergeletak tidak sadar.

“Rere! Rere!” Medina berusaha untuk membangunkan Rere dan disadari kalau Rere terkena efek ledakan itu. Punggung dan kaki kanannya terluka.

“Sial ! Gue terlalu cepet narik talinya” Medina langsung membuka tas dan mengambil beberapa perban dan alkohol untuk mengobati Rere.

“Rere! Rere!” Medina masih berusaha menyadarkan Rere, dan dengan sedikit tamparan di pipinya, Rere sadar.

“Rencana…ki..kita berhasil..kan ?” Rere memaksakan untuk tersenyum.

“Ya kita berhasil, Re” ujar Medina menahan air matanya.

“Baguslah….” Rere senang rencananya berhasil, “Sekarang, bisa kan lo bantu gue berdiri ?”

Tanpa basa-basi Medina langsung membopong Rere. Mereka melanjutkan perjalanan mereka sambil berharap bertemu dengan rekan seperjuangannya. Mereka berdua kelelahan, tapi para sandera juga lelah menunggu.

1 daerah telah diamankan dan 1 ajudan sudah dibasmi. Masih tersisa 3 area lagi yg masih dalam kondisi kritis dan 3 ajudan yg harus dikalahkan. Berharap Frank, Ali, Kemal, dan Zico bisa menyelesaikan misinya.

Hujan telah berhenti, dan matahari mulai bersinar lagi dengan gagahnya. Masih ada harapan dalam diri mereka berdua untuk menyelamatkan sandera-sandera itu. Dan harapan itu sama terangnya dengan cahaya matahari sore itu……..

 

To Be Continued………

THE SOLDIER RECON CHAPTER 3 : WOMEN’S POWER (PART 1)

“Sepi banget disini” kata Rere pada Medina. Mereka berdua sudah sampai di daerah Cisaranten. Mereka mulai mengeluarkan alat komunikasi dan mencoba untuk menghubungi teman-temannya di daerah lain untuk memastikan mereka sudah sampai disana.

“Gue coba hubungin Ali sama Frank, lo coba hubungin Kemal sama Zico ya Med” kata Rere. Rere mulai merasa khawatir. Namanya juga wanita, pasti selalu seperti itu.

“Blastoise masuk, Blastoise masuk, disini Jigglypuff…” Rere berusaha berkomunikasi dengan Ali tapi tidak ada respon.

“Primeape harap masuk…” kali ini Rere mencoba berkomunikasi dengan Frank, tapi gagal juga.

“Charizard masuk, ganti …” Medina mencoba menghubungi Kemal dan Zico “Hitmonchan masuk, ganti… Disini Pichu, ganti……”

Gagal. Tak ada respon baik itu dari Kemal, Ali, Frank maupun Zico. Yang ada hanya suara berisik seperti TV rusak.

“Re, Zico dan Kemal ngga merespon komunikasi dari gue” ujar Medina, yg nampaknya menemui kegagalan juga dalam menghubungi Kemal dan Zico.

“Gue juga, Frank sama Ali juga ngga merespon” sambung Rere.

Sepertinya memang ada gangguan sinyal radio disini, entah itu memang kontur lapangan yg menjadi kendala atau memang para teroris itu memasang signal jumper untuk mencegah ada yg berkomunikasi dengan pihak luar.

Terpaksa, Rere dan Medina berjalan menyusuri daerah itu yg sepi. Kondisi Kota Bandung memang seperti kota mati, tidak ada aktivitas sama sekali. Mereka berdua waspada pada setiap sudut-sudut jalanan yg mereka lalui. Mereka tidak tau apa yg akan muncul dihadapan mereka.

“MERUNDUK MED” teriak Rere pada Medina.

Mereka tiba-tiba ditembaki oleh sekelompok orang yg diduga adalah anggota teroris ini. Dengan cepat, mereka sembunyi dibalik suatu bangunan. Rere dan Medina membalas tembakan mereka sambil berpindah ke bangunan yg ada di kanan depan mereka.

“Banyak banget, kurasa ada sekitar 20 orang yg ada di depan kita” ujar Medina. Dia yakin, karena tembakan kelompok itu tidak berhenti.

Medina dan Rere mulai bergantian menembaki kelompok itu. Alhasil, 7 orang dari kelompok itu tewas. Tapi, masih ada sisa 13 orang lagi yg harus ditumpas supaya mereka berdua bisa melanjutkan perjalanan.

Daripada membuang waktu, Rere dan Medina melemparkan High Explosive Grenade secara bersamaan. BUARRR!!! 4 orang langsung tewas karena ledakan itu. Ini memudahkan Medina dan Rere untuk menghabisi sisa 9 orang lainnya.

“Med, gue lempar Flashbang, lo langsung tembakin mereka ya” perintah Rere. Membuat rencana dan strategi seperti ini memang keahlian Rere dan dia sangat menguasainya.

“Oke Re!” tanda Medina setuju sambil mengacungkan jempolnya.

Rere pun melemparkan Flashbang Grenade. Disaat musuh buta mendadak, Medina langsung menembaki 9 orang tersisa. Dibantu Rere, yg menggunakan 2 handgun ditangannya. Habislah sudah orang-orang dari kelompok teroris itu.

“Berhasil! Kita berhasil Re” Medina senang.

“Ya, tapi jangan terlalu senang. Mungkin masih ada anggota kelompok lainnya didepan kita” kata Rere agar Medina tetap waspada.

Mereka melanjutkan perjalanan mereka. Setidaknya mereka harus sampai di daerah Arcamanik karena daerah itu terbilang cukup aman, dan dari informasi yg mereka dapat sebelum berangkat, di daerah itu ada ruang tersembunyi seperti bunker yg isinya ada senjata, sehingga mereka bisa mengisi atau mengambil persediaan peluru atau mengganti senjata mereka.

“Ingat, kita harus waspada sama lingkungan sekitar” Rere mengingatkan Medina untuk tetap siaga.

Benar saja, baru beberapa langkah mereka sudah ditembaki oleh anggota teroris yg lain.

“Berlindung !!” ujar Medina agar tidak ada yg kena.

Mereka berlindung di tempat yg terpisah. Tapi, itu memudahkan mereka untuk menumpas anggota teroris itu karena fokus anggota teroris jadi terbagi dua.

“Kita semakin mahir ya” kata Rere pada Medina karena mereka menumpas anggota teroris lebih cepat dari biasanya.

“Tapi jangan seneng dulu Re” sahut Medina, “Mungkin masih banyak anggota-anggota lainnya di depan kita.”

Selagi mereka sibuk berjalan untuk mengamankan daerah Cisaranten, mereka tidak sadar kalau gerak-gerik mereka diawasi.

“Hmmm, dua wanita yg berani” gumam Vic, “Ini akan menjadi pertarungan antar wanita yg paling seru, sudah lama aku tidak minum darah segar dari seorang wanita.”

“Oke, siapkan jebakan yg sudah kita siapkan” Vic menyuruh bawahannya.

Medina dan Rere tidak tau apa yg akan terjadi dan tidak tau menahu mengenai jebakan ini. Yang mereka tau adalah kalau Vic ini handal dalam membuat jebakan. Tanpa sadar, kaki Medina tersangkut sebuah tali pancing.

“Awas Medina !!!!!” teriak Rere sambil menyelamatkan Medina.

Ada sekitar 10 tombak dari bambu dan batu yg siap menghantam mereka. Telat sedikit saja, Medina sudah jadi mayat sekarang.

“Apa itu tadi ?” Medina gemetaran “Apa itu tadi, Re ?”

“Itu jebakan yg disiapkan musuh untuk menghabisi kita” Rere berupaya untuk menenangkan Medina.

“Hati-hatilah setiap melangkah, mungkin masih banyak jebakan lainnya yg menanti kita” sambung Rere.

Medina masih gemetaran. Jelas dia ketakutan, kondisi perang yg biasa dia lihat di game kini dia rasakan sendiri dan di depan mata, dia hampir saja tewas dan menjadi sate manusia.

“Pandai juga mereka” Vic tetap mengawasi Rere dan Medina, “Kurasa wanita yg berambut ikal ini ahli dalam membuat suatu strategi”

“Ini akan menjadi adu strategi yg paling indah. Sudah tak sabar rasanya untuk meminum darah mereka.” sambung Vic, dia memang memiliki kelainan gen.

Rere dan Medina melanjutkan perjalanan mereka. Serangan musuh dan jebakan datang silih berganti. Benar saja, Rere terluka gara-gara serangan.

“AHH!” teriak Rere memegang lengannya.

“Re, lo ngga apa-apa ?” Medina menghampiri Rere yg tergeletak di tempat persembunyiannya.

“Aku kena, tapi sepertinya peluru yg mereka tembak hanya menyerempet” ujar Rere agar Medina tidak panik.

Medina langsung mengeluarkan perban dan alkohol untuk mengobati Rere. Dan kini, mereka harus ekstra waspada. Salah-salah, nyawa menjadi taruhannya.

“Med, seperti biasa, aku lempar Flashbang dan lo lempar High Explosive Grenade” Rere memberikan strategi yg sama seperti sebelumnya.

Rere melemparkan Flashbang dan beberapa saat kemudian, Medina melemparkan High Explosive Grenade. Hasil itu tidak membantu banyak, karena pasukan musuh semakin bertambah.

“Sepertinya ngga berkurang Re” Medina mengintip sedikit ke arah pasukan musuh, “Jumlah mereka malah bertambah banyak”

“Lo ada sisa Flashbang berapa banyak ?” tanya Rere, dia sepertinya akan membuat rencana.

“Aku ada sisa 3, Re” ujar Medina.

“Cukup, sekarang lo lempar 2 Flashbang sekaligus, lalu kita berondong mereka dengan peluru” Rere memang dapat berpikir cepat jika dalam keadaan terdesak.

Medina menarik kunci granat dan melemparkannya ke arah pasukan musuh. Granat meledak, Rere dan Medina langsung keluar dan menembaki pasukan musuh. Efektif, hampir sebagian pasukan musuh berhasil dilumpuhkan. Tapi, mereka harus cepat sembunyi lagi untuk mengisi ulang senjata.

Dengan strategi yg sama, mereka berdua berhasil menumpas sisa pasukan teroris. Segala latihan yg mereka lalui hasilnya dapat dirasakan sekarang. Akurasi mereka bertambah dengan cepat.

“Apa-apaan ini ?” Vic mulai marah “Mereka bukan wanita biasa rupanya, ini akan semakin seru”

Vic malah menikmatinya, meski pada awalnya dia sempat marah.

“Baiklah, kita berikan mereka sedikit udara untuk bernafas” ujar Vic, “Kita serang mereka pada saat mereka lengah”

“Sekarang kalian bersiap-siap saja untuk menyerang mereka berdua secara membabi buta” perintah Vic pada bawahannya “Isi peluru kalian dan bawa banyak peluru”

Medina dan Rere jelas tidak mengetahui hal ini. Mereka melanjutkan perjalanan mereka. Setidaknya, mereka harus sudah sampai di daerah Arcamanik pada malam hari karena hari sudah mulai sore menuju petang.

“Kok disini mendadak sepi ya ?” Medina menyindir pasukan musuh yg tiba-tiba menghilang.

“Jangan berkata seperti itu, bisa saja mereka menyiapkan strategi dan berbagai jebakan lainnya, seperti yg disana itu” Rere menyadari ada jebakan dan mereka sebisa mungkin untuk menghindari jebakan itu.

Mereka berdua saling waspada. Rere berjalan di depan dan mewaspadai pergerakan musuh di depan dan di kanannya, sedangkan Medina berjaga di bagian belakang dan sebelah kanannya agar tau ada yg mengikuti mereka dari belakang.

Tanpa sadar, hari sudah mulai gelap. Kondisi seperti ini justru membahayakan. Beruntung, mereka sudah memasuki daerah Arcamanik. Rere langsung membuka peta yg dia bawa, dan mencari lokasi yg disembunyikan.

“Seharusnya, bunker yg dimaksud oleh Niko ada di daerah sini.” Rere bergumam sambil melihat ke sekeliling.

“Re !” Medina tiba-tiba memanggil Rere, “Sepertinya pintu menuju bunker itu ada disini”

Pintu itu memang tidak terlihat jelas. Sungguh sebuah tempat yg rahasia. Rere dan Medina masuk pelan-pelan agar tidak diketahui oleh pasukan musuh. Mereka menyusuri lorong-lorong di bunker itu. Hanya cahay remang-remang yg menemani mereka berdua saat ini. Meski ini sebuah bunker¸mereka harus tetap hati-hati. Sungguh ngga lucu kalau mereka bertemu dengan pasukan musuh ditempat kecil tanpa ruang sembunyi sama sekali.

“Siapa kalian ??” teriak seorang wanita di bunker itu sambil menodongkan sebuah pistol jenis Magnum Revolver.

Rere dan Medina langsung berbalik dan mereka mengenali wanita itu.

“Mata ?” Medina berusaha meyakinkan dirinya kalau dia memang bertemu dengan Mata.

“Loh Medina, Rere ?” Mata terheran-heran karena bisa bertemu dengan mereka berdua di bunker ini, “Kalian berdua kok bisa disini dan kenapa kalian berpakaian mirip tentara ?”

“Ya, kami sedang dalam misi pembebasan dan penumpasan teroris” Rere menjawab dengan yakin agar Mata bisa percaya.

“Mata, lo bicara sama……. Medina ? Rere ?” keluarlah Farandy dari sebuah ruangan, diikuti dengan Reksa, Audy dan Karin.

Rere dan Medina jelas kaget bercampur senang karena teman-temannya masih bisa menyelamatkan diri dari serangan teroris itu. Mereka berdua meminta izin untuk beristirahat semalam sebelum melanjutkan perjalanan.

“Jadi begitu, kalian berenam ditarik untuk menjadi prajurit penumpas teroris di Bandung sekarang,” Farandy mengangguk mengerti setelah Rere bercerita panjang lebar kenapa mereka bisa sampai disini.

“Kalian memang dipisah dengan yg lain supaya tiap area itu clear dari teroris, begitu ?” Audy masih merasa pesimis sedikit, “Tapi kalian kan hanya berenam…”

“Entahlah gue juga, yg pasti anggota yg sedang bertugas memang hanya kami berdua, Ali, Frank, Zico, dan Kemal” Rere memberikan tambahan penjelasan.

“Btw, makasih loh makan malamnya, ini makanan berat pertama yg masuk ke perut kami” ujar Medina sambil menghabiskan makanan di mangkuknya.

“Jadi, kalian makan apa selama menuju bunker ini ?” Reksa keheranan, mereka wanita tapi bisa menahan nafsu lapar hingga malam.

“Yah hanya sekedar roti dan chocolate bars yg kami bawa dari markas” jawab Rere sambil mengelap mulutnya dari sisa makanan.

“Tapi ekstrim juga cuma kalian berdua saja untuk menjalankan misi disini” kata Karin seolah tak percaya.

“Frank dan Ali juga berpasangan kok di daerah Cijerah” jawab Medina, “Sejujurnya kami cukup beruntung memiliki rekan seperjuangan di daerah konflik”

“Beruntung ?” mereka berempat keharanan, “Memang ada yg sendirian menjalani misi ini di daerahnya ?”

“Ada” Rere sambil menghela nafas karena kelelahan “Kemal dan Zico, mereka masing-masing bertugas di daerah Sersan Bajuri dan Mohammad Toha.”

“Wah, sulit sekali itu…” jawab Audy khawatir “Semoga mereka baik-baik saja”

“Aamiin” semuanya mengamini, semoga tidak ada yg terluka apalagi tewas dalam misi mulia ini.

“Apakah kalian memiliki persediaan peluru ?” tanya Rere, “Peluru kami sudah menipis, begitu juga dengan granatnya”

“Gue ngga tau Re, tapi ada satu ruangan yg memang tidak kami buka karena sangat gelap” jawab Reksa, “Mungkin peluru-peluru itu ada disana”

“Kurasa kita harus mengeceknya sekarang” sambung Medina, “Hanya untuk memastikan saja”

“Jika itu keinginan kalian, gue anter kalian ke ruangan itu” Farandy langsung bangkit dari duduknya dan berjalan duluan di depan Rere dan Medina menuju ruangan yg dimaksud.

Sampai di ruangan itu, Medina dan Rere memang agak kesulitan untuk membuka pintunya karena klep pintu yg sudah berkarat. Dengan sedikit bantuan dari Farandy dan Reksa, pintu itu akhirnya terbuka. Dengan cahaya yg seadanya dan menggunakan Nightvision, Medina dan Rere mulai melihat ke sekeliling ruangan.

Lagi-lagi beruntung, itu adalah gudang senjata. Disana ada beberapa senjata, granat, peluru, dan perlengkapan lainnya. Medina dan Rere sangat senang dengan keadaan ini, mereka bisa melanjutkan perjalanan mereka esok hari.

“Boleh kami mengambil peluru, granat, dan perlengkapan medisnya ?” tanya Rere sambil berharap diizinkan oleh mereka.

“Silahkan saja Re, lagian kami juga ngga begitu ngerti cara pakenya” ujar Audy, karena memang pada dasarnya mereka berempat tidak mengerti apa-apa tentang senjata.

“Kalau begitu, terima kasih banyak ya !” Rere dan Medina mulai mengambil persediaan peluru, granat, dan perlengkapan medis karena mereka akan kembali melanjutkan perjalanan di pagi buta.

Keluar dari ruangan, Rere dan Medina mulai membereskan persediaan yg mereka dapatkan di bunker itu. Farandy juga memberikan sebuah peta jalanan yg sepertinya adalah jalan tercepat dari bunker itu menuju UNPAR.

Pada awalnya Farandy ingin ikut membantu dalam misi ini tapi dicegah oleh Rere karena terlalu berbahaya, apalagi bagi mereka yg tidak tau kondisi yg sesungguhnya di luar sana. Rere berharap mereka berempat mengerti dan tetap mendukung serta berdo’a agar misi ini berjalan lancar dan tak ada yg tewas.

“Lebih baik sekarang kita beristirahat, sudah larut malam” kata Karin “Kalian berdua butuh menyimpan tenaga untuk perjalanan besok”

“Kalian istirahat disini saja” ajak Audy agar Rere dan Medina tetap tinggal “Istirahat di luar sana tidak aman, kalian bisa terbunuh kapan saja”

Apa yang dikatakan Karin dan Audy ada benarnya. Rere dan Medina pun memutuskan untuk istirahat di bunker itu. Masih ada banyak waktu untuk menyelesaikan misi ini.

“Gue siapin alas tidur kalian ya” kata Reksa, “Tapi hanya selembar kardus ini aja yg tersisa”

“Ngga apa-apa kok, yg penting masih layak untuk digunakan” jawab Medina, “Terima kasih ya sekali lagi.”

“Sama-sama” kata Reksa, “Tapi kami punya permintaan, bisakah kalian mengabulkannya ?”

“Apa itu ?” Rere bertanya-tanya, “Siapa tau kami sanggup memenuhinya”

“Tolong tumpas teroris-teroris itu…….” jawab Audy sambil menangis. Dia tidak kuasa menahan tangisnya.

“Kami mengerti….” jawab Medina sambil menenangkan Audy, “Itulah mengapa kami ada disini sekarang”

“Sudah yuk, lebih baik kita tidur sekarang” sambung Rere, “Ini sudah larut”

Entah apa yg akan dihadapi Rere dan Medina nanti. Yg pasti mereka harus menyimpan tenaga agar tidak kelelahan dalam perjalanan menuju UNPAR. Nyawa para sandera ada di pundak mereka berdua. Gembong teroris ini harus ditumpas sesegera mungkin sebelum mereka berbuat seenaknya. Darah dibayar dengan darah, nyawa dibayar dengan nyawa………

To Be Continued…….

THE SOLDIER RECON Chapter 2 : Train! Train! Train!

“Bangun! Semua bangun! Cepat!”, diiringi dengan suara sirine, “Ganti dengan baju training dan pergi ke lapangan, segera !”

Kami bangun dengan terkaget-kaget, ada apa lagi sebenernya. Gue melihat ke arah Kemal, Ali, dan Frank. Mereka sudah bangun juga karena suara sirine yg memang mengganggu. Kecuali Frank, dia masih ngorok dengan indahnya. Jujur, membangunkan Frank merupakan pekerjaan yg paling sulit dibanding misi ini.

“Frank, bangun Frank” kata Ali sambil menggoyang-goyangkan badan Frank.

“Grooookkkkk,,,heeeuuuuuuuu” Frank menjawab melalui ngoroknya.

“Tutup aja idungnya Li, biar cepet” kata Kemal yg udah ngga peduli dengan ngoroknya Frank.

Hidung Frank ditutup sama Ali. Sambil megap-megap, akhirnya Frank bangun juga.

“Woey, ada apaan nih ?” kata Frank “Lagi enak tidur nih, kok dibangunin”

“Kita juga dibangunin Frank, pake sirine lagi” sahut gue.

“Kok mata lo berdua item gitu ?” tanya Frank ke gue sama Kemal “Kurang tidur ye ?”

“Iye, gara-gara ngorok lo kenceng bener Frank” jawab gue sama Kemal serempak.

Gue sama Kemal memang kurang tidur gara-gara ngoroknya Frank. Cuma Ali yg kuat sama ngoroknya Frank. Gue ngga ngerti sama sekali sam bocah yg satu ini. Kami langsung ganti pake baju training dan pergi ke lapangan. Disana sudah ada seseorang berpangkat letnan yg menunggu kami berenam.

“Selamat pagi, prajurit!” kata letnan itu.

“Pagi, Fadel !” kata kami berenam. Memang letnan ini letnan yg kami kenal lewat rambut kribonya.

“Heh jawab yg bener !” tukas Letnan Fadel.

“PAGI LETNAN !” jawab kami supaya ngga kena tampar di pagi hari.

“Mulai saat ini, kalian akan mendapatkan pelatihan dan persiapan untuk menjalani misi yg kalian dapatkan kemarin.” Kata Letnan Fadel, “Sekarang, untuk pemanasan kalian keliling lapangan ini 20 kali !”

Kami mulai berlari di pagi buta ini. Dingin memang, tapi ya mau bagaimana lagi. Kami memang harus mempersiapkan fisik serta mental yg kuat untuk menjalankan misi pembebasan ini.

Berbagai program latihan kami lalui. Dari mulai menyusun strategi, dan Rere yg paling menonjol disini, Leadership, persenjataan, penjinakkan bom, bertarung dengan tangan kosong, hingga bertahan hidup tanpa senjata. Dilanjutkan dengan latihan menembak. Bukan nembak cewek loh ya, tapi sasaran tembak. Tercatat disitu, keahlian kami dalam game yg sering kami mainkan sama persis dengan hasil latihan menembak. Hampir 2 minggu kami menjalankan latihan dan persiapan ini. Kami mulai bertanya-tanya kapan sebenernya kami akan menjalankan misi ini. Akhirnya kami berkumpul di kantin sambil membicarakan hal ini.

“Sebenernya kapan sih kita jalanin misinya ?” kata Medina, dia memang terlihat kesal karena tidak tahu kapan akan turun ke daerah konflik.

“Gue juga ngga tau Med, belom ada pemberitahuan lagi dari Niko” kata Kemal, berusaha menenangkan Medina.

“Udah-udah, makan dulu aja, perut kalian masih kosong tuh.” kata gue, sembari menyantap sarapan pagi di kantin.

Kemal dan Medina terdiam dan mulai menyantap makanannya. Begitu juga dengan yg lain, Ali makan dengan lahap, Rere makan pelan-pelan. Cuma Frank yg ngga sarapan, dia tidur di meja kantin sambil duduk. Tidak lama, datang Niko dan Letnan Fadel sambil membawa nampan berisi makanan.

“Kami ikut disini ya” kata Niko.

“Boleh Nik, silahkan” Rere mengizinkan mereka berdua duduk bersama kami.

Suasana menjadi sangat canggung. Sebenernya kami ingin bertanya kapan kami akan diterjunkan ke daerah konflik. Tapi gue yakin Niko sebagai pimpinan tertinggi memiliki rencana agar kami lebih siap nantinya.

“Setelah makan pagi, apakah kalian ada latihan lagi ?” tanya Niko.

“Ada Nik” sahut gue “Tapi cuman latihan nembak”

“Baiklah kalau begitu” kata Niko. Selesai makan, kami keluar dan kembali menjalani latihan menembak selama kurang lebih 3 jam.

“Jangan lupa, setelah beres latihan menembak, suruh mereka pakai baju tugas tapi tanpa perlengkapan” suruh Niko pada Letnan Fadel, “Dan bawa mereka ke ruang diskusi”

“Siap komandan” Letnan Fadel menyanggupinya.

Kami sampai di tempat latihan menembak. Tapi di ruangan kasus khusus, bukan di ruangan menembak biasa. Gue berpikir ini merupakan praktek untuk di daerah konflik nanti. Disitu ada rekan Letnan Fadel, namanya Letnan Intan.

“Selamat datang di ruangan kasus khusus. Disini kalian akan merasakan kondisi yg disesuaikan dengan daerah konflik saat ini. Silahkan memilih senjata yg sesuai dengan keahlian kalian” perintah Letnan Intan kepada kami.

Kami mulai memilih-milih senjata yg sesuai dengan keahlian kami. Tapi disitu hanya ada 4 handgun, 1 sniper rifle, 2 shotgun, 2 sub-machine gun, 1 defusal kit, dan 3 rifles.

“Gue ambil yg ini”, Kemal mengambil langsung 2 shotguns berjenis Leone 12 Gauge.

“Menjadi sniper adalah keahlianku”, Ali mengambil sniper rifle berjenis Magnum.

Medina juga langsung mengambil 2 sub-machine gun, “Kalau begitu, mainanku adalah 2 sub-machine gun ini”. Sub-machine gun yg diambil berjenis KM-UMP 45 dan ES C90.

Defusal kit dan Clarion ini dipegang sama gue yak” Frank juga mengambil senjata yg sesuai dengan keahliannya.

Handgun ini gue yg pegang yaa” Rere langsung mengambil 2 handgun juga berjenis Dual Elite.

“Berarti sisanya milikku” kata gue yg langsung mengambil senjata jenis IDF Defender dan Krieg Commando.

Kami mulai mengisinya dengan peluru. Tiap senjata mendapatkan jatah sebanyak 3 kali untuk mengisi peluru. Jadi, Kemal mendapatkan 44 peluru untuk ­shotgun-nya, Ali mendapatkan 30 peluru, Medina mendapatkan 180 peluru, Frank mendapatkan 90 peluru, Rere mendapatkan 42 peluru, dan gue mendapatkan jatah 180 peluru.

“Sekarang, saya bacakan kasusnya. Kasusnya mudah, kalian harus menjinakkan bom, menyelamatkan 10 sandera, dan menumpas teroris yg ada. Jadi, kalian harus menyusun strategi agar kasus ini bisa terselesaikan. Dan hati-hati pada peluru karet yg akan ditembakkan oleh robot disini.”, lanjut Letnan Intan, “Dan kalian akan dibekali alat komunikasi untuk tetap bisa berinteraksi satu sama lain.”

Kami mulai berkumpul dan meminta peta ruangan ini. Disinilah peran Rere diperlukan karena Rere memang ahli dalam hal ini.

“Oke, dari peta ini kita tau ada 3 ruangan yang terpisah, diantaranya ada bom yg aktif. Untuk bom aktif ini akan jadi tanggung jawab Frank. Frank, lo berpasangan sama Kemal.” kata Rere, “Kalian langsung ke arah kiri ya, soalnya ruangan ini paling tersembunyi”

“Oke, tugas gue cuman lindungin Frank dari robot-robot itu kan” tukas Kemal.

“Yap, betul” kata Rere “Lalu, gue bareng sama Medina, karena kami berdua wanita disini dan kami akan menuju ruangan yg ditengah”

“Jadi gue bareng Ali gitu ?” tanya gue.

“Lo sendiri Zic” sanggah Rere, “Ali bakal sembunyi di menara itu untuk back-up kita dari serangan robot”

Mampus. Gue cuman sendirian. Ruangan ini terlalu luas dan memang dibutuhkan sampai 2 orang untuk “membersihkan” setiap ruangan yg ada. Tambah lebih ngga lucu kalau ruangan yg gue periksa ada bomnya. Gue cuman bisa sedikit untuk menjinakkan bom. Dan gue disuruh menuju  ke arah kanan dan ruangan itu yg paling jauh.

“Sudah selesai briefing-­nya ?” tanya Letnan Intan, “Jika sudah, kalian punya waktu selama 4 jam untuk menyelesaikan kasus ini dan dimulai dari sekarang !”

“Satu hal lagi, jika ada yg tertembak atau bomnya meledak, kasus ini diulangi dari awal” lanjut Intan.

“Ayo bergerak !” lanjut Rere, “Li, lo langsung ke arah menara ya !”

“Siap Ibu Komandan !” Ali langsung ke arah menara.

Gue, Frank, Kemal, Medina, dan Rere mulai memasuki ruangan kasus khusus. Kondisinya tidak sama persis dengan peta yg kami dapatkan. Banyak jalan-jalan kecil dan sangat berpotensi muncul robot-robot itu. Sungguh sulit untuk menyelesaikan kasus ini. Tidak hanya bagi kami berlima, tapi bagi Ali juga. Penglihatan dia sebagai sniper jadi berkurang. Memang di menara itu semua kegiatan terlihat, tapi terhalang dengan box-box yg tidak tergambar di peta.

Kami mulai jalan dan menuju arah yang telah ditetapkan. Kemal dan Frank langsung menuju arah kiri, Medina dan Rere langsung lurus ke ruangan yg tengah, dan gue ke arah kanan hanya dengan diri gue sendiri.

BANG !! Ali menembakkan sniper-nya. Ada robot yg mengikuti kami dan Ali berhasil mengenainya. Keahlian Ali sangat diharapkan dan berguna saat ini.

2 jam berlalu. Terdengar suara tembakan dari arah yg diambil Kemal dan Frank. Sepertinya mereka sudah bertemu robot-robot penembak peluru karet. Tak lama kemudian, kembali terdengar suara tembakan dari arah yg diambil Medina dan Rere. Cuma gue yg belum ketemu sama robot-robot penembak peluru karet ini.

Suara-suara tembakan mereka membuat gue menjadi tambah waspada. Sekeliling gue sepi dan tidak ada pergerakan sama sekali. Yang gue takutkan adalah robot penembak itu ada di ruangan yg gue tuju saat ini. Benar saja, robot-robot penembak itu ada di ruangan, dan ada sanderanya. Bagusnya, robot-robot itu ada 10. Gue bener-bener butuh bantuan.

“Li, robot penembak keliatan ga dari arah lo ?” tanya gue.

“Ngga Zic, kehalang sama talang air”. Pandangan Ali benar-benar terhalang.

“Mal, lo bisa bantu gue di ruangan ini ga ?” gue bener-bener butuh bantuan.

“Ngga bisa, gue sama Frank lagi nembakin robot penembak ini” sanggah Kemal.

Mampus. Gue bener-bener mampus. Kalau Kemal sama Frank ngga bisa, berarti Medina dan Rere juga ada dalam kondisi yg sama. Gue emang harus gerak sendiri dan diam-diam mirip tikus.

Gue mulai mengintip dari setiap celah yg gue temuin. DOR! kena satu robot penembak. Sontak, 9 robot penembak lainnya menembak ke arah gue. Beruntung bagi gue karena pelurunya tidak ada yg kena. Robot-robot itu semakin waspada, makin susah gue buat masuk ke sana.

Gue menemukan pintu, kecil tapi. Daripada kasus ini gagal, gue memaksakan masuk ke pintu itu. Sialnya, dihadapan gue ada 4 robot yg lalu lalang. Gue langsung pake 2 senjata yg gue bawa. Beruntung, semuanya kena hanya dengan sekali tembak.

30 menit berlalu…

“Disini Kemal, Frank udah berhasil menjinakkan bom” kata Kemal.

Bagus. Gue masih belom bisa melumpuhkan 5 robot yg tersisa. Gue harus putar otak supaya kasus ini selesai. Secara perlahan-lahan, gue masuk ke ruangan itu. Untung, gue sama sekali ngga ketahuan sama robot-robot sialan itu. Hanya saja, posisi mereka dekat dengan sandera. Gue harus mengalihkan perhatian robot-robot itu.

Tak lama, ada komunikasi masuk, kalau dari suaranya terdengar suara Medina.

“Disini Medina sama Rere, kami sudah berhasil mengeluarkan 4 sandera” kata Medina.

Mampus. Mampus gue. Tinggal gue yg belom beres. Waktu yg tersisa cuma sekitar 1 jam 15 menit dan gue harus menghabisi robot-robot itu. Ada dua opsi, lempar satu benda sebagai pengalih lalu tembak atau tembak secara sembunyi-sembunyi. Gue pilih opsi tembak secara sembunyi-sembunyi.

Gue menunggu kesempatan itu dan akhirnya muncul 2 robot yg secara tak sengaja menunjukkan sasarannya. DOR!! DOR!! DOR!! Gue tembak secara beruntun. 2 robot itu langsung roboh. Sialnya, 3 robot itu menyadari keberadaan gue dan gue langsung banting meja sebagai pelindung. Robot-robot itu masih nembakin gue.

“Waktu tersisa, 45 menit lagi” kata Letnan Intan memberikan informasi.

Sial sial sial. Robot-robot itu masih saja nembakin gue, tapi tiba-tiba berhenti dan mereka seperti sedang mengisi ulang pelurunya. Ini kesempatan gue! DOR!!! DOR!! DOR!! Gue tembak sisa 3 robot yg ada. Semua robot udah gue robohkan.

Ali, Kemal, Frank, Rere, dan Medina masih harap-harap cemas. Tinggal gue yg belom beres misinya.

“Disini Zico, gue berhasil robohkan sisa robot dan menyelamatkan sandera” kata gue.

Mereka berlima bersorak sorai. Gue keluar dari ruangan itu dan liat waktu yg tersisa. Waktu menunjukkan 3 jam 57 menit 49 detik. Sisa 3 menit lagi, dan gue berhasil menyelesaikan misi gue meski dengan susah payah.

Serempak, seluruh staf disitu bertepuk tangan. Mereka memberikan selamat.

“Bagus. Kerja kalian sangat bagus sekali” kata Letnan Intan, “Sebelumnya tidak ada yg pernah menyelesaikan kasus ini kurang dari 4 jam”

Kami semua senang dengan kabar ini. Tentu, kerjasama kami tidak bisa dibilang buruk. Tapi, kebahagiaan ini hanya berlangsung sebentar saja karena Letnan Fadel langsung memanggil kami.

“Kalian semua sekarang segera ganti baju dengan baju tugas kalian, tanpa armor, dan ikut saya ke ruang diskusi” katanya.

Kami terheran-heran dan bertanya-tanya. Tapi tak ada waktu untuk bertanya, karena kami langsung digiring ke ruang kamar kami. Setelah selesai memakai baju tugas, kami langsung dibawa ke ruang diskusi. Disana ada Niko yg sudah menunggu dengan muka serius.

“Selamat datang di ruangan ini” kata Niko, “Sekarang, saya akan briefing kalian untuk misi ini. Misi ini sendiri akan dilakukan 3 hari lagi.”

“Misi kalian, seperti yg sudah dijelaskan, kalian harus menggagalkan usaha Puce untuk mengambil kekuasaan Pak Presiden.”  lanjut Niko, “Hanya saja, kalian akan dipencar di 4 lokasi yg berbeda.”

Secara tersirat, gue menyadari kasus latihan yg dijalanin tadi. Kasus latihan tadi menjadi gambaran singkat misi yg akan kami jalankan. Dengan musuh yg asli, peluru yg asli, sandera yg asli, dan penjahat yg asli.

“Ada 4 lokasi berbeda dimana kalian akan ditempatkan. Masing-masing di daerah utara, tepatnya di Sersan Bajuri, lalu di daerah barat yaitu di daerah Cijerah, lalu di daerah selatan tepatnya di daerah Mohammad Toha, dan timur di daerah Cisaranten.” tambah Niko.

Lokasinya sangat jauh dari UNPAR, bahkan mendekati daerah kabupaten. Sungguh lama dan jauh perjalanan kami.

“Sekarang kalian silahkan berdiskusi untuk menentukan orang yg akan ditempatkan di 4 lokasi tersebut.” lanjut Niko.

Niko dan Letnan Fadel meninggalkan ruang diskusi. Tinggallah kami berenam untuk menentukan siapa orang yg akan ditempatkan di 4 lokasi itu. Rere dengan inisiatif, langsung memimpin diskusi ini.

“Oke, dari kita semua yg tau seluk beluk Kota Bandung siapa saja selain gue ?” tanya Rere. Gue dan Ali langsung mengacungkan jari. Fix hanya bertiga yg tau seluk beluk Kota Bandung.

“Ali, lo bisa ambil alih yg didaerah Cijerah ?” tanya Rere, “Kurasa itu dekat dengan daerah rumahmu.”

“Oke” Ali menyetujui, “Tapi boleh gue meminta rekan di daerah itu ?”

“Lo bakal berpasangan sama Frank” lanjut Rere, “Gue bakal berpasangan dengan Medina dan kita masuk dari daerah Cisaranten.”

Tinggal gue dan Kemal yg belom dapat area. Dan fix, kami berdua tidak mendapatkan rekan disana.

“Mal, lo tau daerah Sersan Bajuri, kan ?” tanya gue.

“Ya, gue tau” jawab Kemal, “Gue ngga mau di daerah Mohammad Toha, gue sama sekali buta tentang daerah itu”

Secara ngga langsung, sudah terlihat siapa yg akan mengambil daerah Sersan Bajuri dan Mohammad Toha. Selesai diskusi, kami langsung memanggil Niko dan Letnan Fadel.

“Sudah kalian diskusikan ?” tanya Niko.

“Sudah, dan kami sudah menentukan orang yg akan ditempatkan di 4 lokasi itu.” Jawab Rere, “Di lokasi Sersan Bajuri ada Kemal yg akan bertugas, di lokasi Cijerah ada Ali dan Frank, di lokasi Mohammad Toha ada Zico, dan kami berdua akan bertugas di daerah Cisaranten.”

“Bisa kalian berdua bertahan di lokasi tanpa partner ?” tanya Niko pada gue dan Kemal mendadak.

“Kami kenal betul dengan daerah tugas kami” jawab gue yakin.

“Bagus, sekarang kalian akan menuju ruang senjata dan memilih senjata yg akan menjadi perlengkapan kalian.” lanjut Niko.

Bersama Niko, kami menuju ruang senjata yg dimaksud. Menakjubkan, banyak sekali senjata yg tersedia disana. Semua senjata dan perlengkapan yg ada sama persis dengan game yg kami biasa kami mainkan.

Pisau, Kevlar, helmet, High Explosive Grenade, Flashbang Grenade, Smoke Grenade, Defusal Kit, dan Nightvision menjadi barang yg wajib harus dibawa. Yang berbeda Cuma perlengkapan senjata saja.

Frank mengambil 2 buah handgun berjenis ES Five Seven 5.7x28mm Caliber dan rifles berjenis Clarion 5.56 Caliber. Ali memilih menggunakan handgun berjenis 228 Compact .357 SIG Caliber dan sniper rifles berjenis Magnum Sniper Rifle .338 Lapua Magnum Caliber. Rere memilih 2 handgun berjenis KM .45 Tactical .45 ACP Caliber dan sub-machine gun bertipe KM Navy 9mm parabellum Caliber. Medina ternyata lebih sangar dari kelihatannya. Dia langsung memilih handgun berjenis 9x19mm Sidearm 9mm Parabellum Caliber dan 2 sub-machine gun berjenis ES C90 5.7x28mm Caliber. Kemal tidak mengambil handgun, dia langsung memilih shotgun berjenis Leone YG1265 Auto 12 Gauge Caliber dan machine gun berjenis M249-SAW 5.56 Parabellum Caliber. Gue sendiri memilih 2 handgun berjenis Desert Eagle .50 C 9mm Parabellum Caliber dan 2 rifles berjenis Maverick M4A1 Carbine 5.56 Caliber yg dilengkapi dengan peredam dan AUG Bullpup 5.56 Caliber.

Karena perjalanan kami akan sangat panjang dan lama, kami membekali diri dengan membawa sebanyak mungkin peluru untuk persediaan nanti dan tentu penggunaannya harus seefektif mungkin. Untuk handgun masing-masing mendapatkan 120 peluru, sub-machine gun masing-masing mendapat 300 peluru, shotgun masing-masing mendapat 200 peluru, rifles masing-masing mendapat 400 peluru, sniper rifle mendapat 100 peluru, dan machine gun mendapat 400 peluru.

“Perlengkapan dan senjata sudah kalian pilih, dan akan disiapkan oleh staff persenjataan, sekarang kalian beristirahatlah karena 3 hari lagi kalian akan langsung dikirim ke daerah konflik.” perintah Niko.

Kami semua membayangkan apa yg akan kami temukan di area tugas kami nanti.

“Oya satu hal lagi. Jangan lengah pada 4 penjaga masing-masing daerah. Sekalian saja, daerah barat dipegang oleh Edge, dia ahli dalam menggunakan sniper dan 97% selalu kena sasaran. Daerah selatan dipegang oleh Dom, dia ahli dalam pertarungan jarak dekat dan tangan kosong. Daerah timur dipegang oleh Vic, meski dia wanita dia ahli dalam membuat jebakan dan handgun layaknya tokoh Lara Croft. Terakhir, daerah utara dipegang oleh Bryan dan dia ahli menggunakan machine gun.

Entah kenapa, semua penjaga itu kemampuannya kurang lebih sama dengan kemampuan kami. Tapi itu tidak mengecilkan nyali kami, karena kami yakin lebih hebat daripada mereka dan kami tidak takut pada mereka.

MISSION START !!!!

 

To Be Continued…….

THE SOLDIER RECON Chapter 1 : The 2nd Generation

“Bu, kopi hitam satu ya bu, ngutang dulu” ucapku pada ibu-ibu warung penjaga kopi. Gue memang udah sering banget ngutang di warung Bu Moes. Entah udah berapa kali gue ngutang di warung ini. Kalo diitung-itung kayanya sepatu original Lionel Messi udah kebeli deh.

“Iya den, utangnya jadi Rp. 55000 yah, sama yg bulan kemaren kan belom” kata Bu Moes. Utang gue jadi berlipat ganda. Gue lupa bayar utang yg bulan kemaren gara-gara duitnya kepake buat beli celana dalem alias kolor.

Oya, nama gue Zico. Gue seorang penjual jaket klub bola dan tukang design logo serta jaket yg merangkap sebagai mahasiswa. Udah 4 taun gue jadi mahasiswa disalah satu universitas swasta yg terkemuka di Bandung, yakni UNPAR. Gue punya temen tongkrongan yg memang dateng dari berbagai angkatan dan jurusan disini. Kemal, seangkatan sama gue cuman dia lebih muda gara-gara waktu SMA dia aksel dan dia menyesal gara-gara itu. Ali, satu angkatan lebih muda daripada gue, anak akuntansi tapi pikirannya nyeleneh dan pecicilan. Rere, seangkatan dengan Ali, cewek rajin dan emang pinter. Frank, tiga angkatan lebih muda daripada gue, pikirannya lebih nyeleneh dan sering banget ketiban sial. Terakhir, Medina, seangkatan dengan Frank, sama kayak Rere, dia termasuk anak yg rajin.

“Tumben sendirian den” kata Bu Moes. Gue tersadar dari lamunan gue.

“Iya bu, lagi libur juga sih jadi banyak yg pulang kampung” timpal gue. Bu Moes memang kenal deket dengan temen-temen gue.

“Tapi katanya hari ini anak-anak mau pada kesini, malem tapi bu” kata gue. Gue baru dapet sms kalo temen-temen gue mau ke Bandung. Sialnya, gue yg cabut ke Bogor.

Hari itu memang di warung Bu Moes kosong banget. Gue emang biasa nongkrong disini sama temen-temen gue. Sialnya, pada pulang kampung semua. Cuman gue yg tinggal disini sendirian. Untungnya, gue ada rencana pergi ke Bogor nyusulin keluarga gue yg udah liburan duluan. Dasar sial.

“Bu, aku pergi dulu yah bu, mau ke Bogor nih” kata gue “Takut ketinggalan travel”.

“Iya den, jangan lupa bayar utang yah nanti” timpal Bu Moes. Soal utang emang Bu Moes juaranya. Kontradiktif banget kalo dia ngga ada kembalian, suka lupa.

Gue memutuskan cabut dari warung Bu Moes. Travel gue berangkat jam 3 sore sebenernya, cuman takut macet jadi gue berangkat dari jam setengah 2 siang. Mending kecepetan daripada terlambat, betul ?

Gue jalan kaki dari tempat warung Bu Moes ke travel karena lokasinya ngga jauh-jauh amat. Yah, cukup bikin berkeringat sih tapi ngga sampe bau badan kok. Kalo sampe bau badan juga, bisa ikut mandi di tempat travelnya. Ngga lucu kalo udah di bus travel, badan kita baunya mirip-mirip sama kambing, yg ada ntar diturunin di jalan tol. Gue berharap cepet sampe di travel dan bisa istirahat di travel barang setengah jam.

Namun, angan-angan tinggalah angan-angan. Gue tiba-tiba disekap dan ditarik ke dalem mobil hitam. Di dalem mobil, mata gue ditutup dan tangan gue dipegang keras.

“Ikut saja dan jangan banyak bicara” kata salah seorang diantara mereka.

Daripada kenapa-kenapa, gue ikutin aja perkataan mereka. Mudah-mudahan aja mereka dengan berbaik hati mau nganterin gue ke Bogor. Mobil melaju sangat cepat, cepat menuju ke ngebut. Kayaknya emang ada sesuatu yg penting mengenai gue. Gue berharap ini bukan hal-hal yg berkaitan dengan orang tua atau keluarga gue. Gue paling ngga suka kalo keluarga gue kenapa-kenapa.

Kondisi di dalem mobil bener-bener sunyi. Dengan sedikit keberanian, gue mulai bicara,

“Mmmm….maaf pak….boleh sedikit putar musik?” tanya gue “Agak sepi disini”

“Baiklah, jika memang itu kemauanmu” kata salah seorang diantara mereka. Dan lagu ABG Tua berkumandang dalam mobil itu. Yaa, dangdut tak apalah daripada lagu-lagu alay layaknya lagu J****n B****r.

Selama dua jam perjalanan dalam mobil, mata gue masih tertutup. Bahkan, pipis pun mata gue masih ditutup. Lagu di dalem mobil pun masih berputar antara ABG Tua-nya Fitri Carlina dan Tega-nya Meggy Z. Ngga lama kemudian, gue ditarik keluar dari mobil dan digiring ke sebuah ruangan. Gue tau itu ruangan karena kedenger ada suara orang.

Dengan kasar, gue didudukkan di kursi secara paksa.

“Sekarang buka penutup mata kalian!” kata seseorang tapi gue sangat-sangat kenal dengan suaranya. Akhirnya, gue buka penutup mata gue.

Gue melihat ke sekeliling gue. Dan yg gue liat adalah muka-muka yg familiar bagi gue. Tak lain dan tak bukan, mereka adalah Kemal, Ali, Medina, Frank, dan Rere.

“Kalian??” tanya gue heran, “Kok kalian ada disini?”

“Lu sendiri ngapain disini ?” tanya Ali.

“Dan yang didepan itu……..” kata Rere.

“NIKO!!” sahut kita semua. Niko merupakan teman kita, namun akhir-akhir ini dia jarang keliatan, bilangnya sih ada urusan penting.

“Halo” katanya “Maaf untuk sebelumnya untuk memaksa kalian memakai penutup mata, karena markas ini sangat rahasia”

“Lu ngapain disitu, Nik?” tanya Frank.

“Gue sebenernya agen rahasia dan pimpinan Unit Rahasia Sektor 1077” timpalnya, “Dan gue punya misi khusus untuk kalian sebagai generasi ke-2 Soldier Recon Squad.”

“Generasi ke-2 ?” timpal Ali “Memang ada yg generasi ke-1 ? Kemana mereka ?”

“Ada” jawab Niko “Tapi mereka sudah tiada bertahun-tahun yg lalu saat zaman peperangan dan kudeta”

“Ada apa sih sebenernya dan misi apaan Nik?” tanya Medina “Gue bener-bener bingung”

“Beruntunglah kalian ada disini” kata Niko.

“Kok beruntung ?” tanya gue.

“Ya, sesaat kalian sampai disini, Kota Bandung baru saja diserang oleh gerombolan teroris dibawah pimpinan Puce” kata Niko.

“Puce ?” kata Rere “PUCE KAMU BILANG??!!” tiba-tiba suaranya meninggi.

“Kenapa, Re?” kata Ali, “Siapa dia ?”

“Dia gembong teroris yg emang diburu di semua negara” timpal Rere, “Bahkan namanya masuk didaftar buronan Interpol”

“Ya kau benar Re” kata Niko membenarkan Rere, “Dan dia berencana untuk menjadikan Kota Bandung sebagai kota mati secara perlahan-lahan jika Pak Presiden tidak memberikan kekuasaan padanya”

“Jadi, tujuan kita disini adalah……” potong Medina

“Ya” timpal Niko, “Kalian gue rekrut untuk menggagalkan rencana itu dan hanya dalam kurun waktu kurang dari 3 bulan”

Suasana menegang. Gue tegang. Kemal tegang. Ali tegang. Rere tegang. Medina tegang. Cuma Frank yg beda, dia kejang-kejang. Gue sadar kalo dia belum minum obat hari ini.

“Bagaimana dengan penduduk di Bandung ?” kata Frank setelah sembuh dari kejang-kejangnya “Apa mereka tahu hal ini ?”

“Sebagian besar dari mereka dijadikan sandera” lanjut Niko, “Kabar buruknya, mereka menjadikan UNPAR sebagai markas mereka dan semua sandera dikumpulkan disana”. Sial. Benar-benar sial. Semua teman-teman kami pun dijadikan sandera. Dan kami berenam ditugaskan untuk membebaskan mereka.

“Putri !” panggil Niko “Tolong berikan berkas-berkas mengenai teroris ini pada mereka”

“Baik” sahut Putri. Dia adalah asisten Niko.

“Sekarang kalian akan dibawa ke…..” kata Niko.

“Tunggu sebentar” kata Kemal, “Ada ruang diskusi disini ? Kami ingin ngobrol sebentar”

“Ada di seberang ruangan ini” sahut Niko.

“Oke kalau begitu” kata gue “Tapi kami ngga pingin diganggu, bisa kan ?”

“Bisa, kalo itu emang pinginnya kalian” timpal Niko.

Secara serempak, kami langsung masuk ke ruang diskusi disitu. Dan kami mulai bertanya bagaimana kami bisa sampai disini.

“Jangan bilang kalian dibawa ke sini oleh orang-orang berjas hitam” kata gue untuk memulai obrolan.

“YA!!” secara serempak Kemal, Frank, Rere, Medina, dan Ali menjawab.

“Lu pada lagi dimana pas dibawa ?” tanya gue “Gue dibawa pas lagi mau ke pool travel

“Gue pas keluar dari bandara banget” jawab Kemal.

“Gue pas lagi pake sepeda dari Cimahi” timpal Ali.

“Gue lagi turun dari travel mau naik angkot” jawab Rere.

“Gue pas beres makan di Ciwalk” kata Medina.

“Gue pas keluar kamar mandi” sahut Frank, makanya ini cuman modal handuk sama boxer doang”. Dari sekian banyak tempat, emang Frank yg paling aneh.

Gue tersadar kalo mereka berlima udah di Bandung pada saat mau dibawa kesini. Cuma gue yg mau pergi dari Bandung.

“Ini bener-bener berat banget bagi kita” kata Medina, “Kita ngga tau apa-apa dan tiba-tiba disuruh untuk numpas teroris, cuma 4 bulan lagi”

“Bangsat” kata Frank, “Mau ngga mau nih kita jalanin ini misi, pulang pun di luar udah ngga aman”

“Gue ngga mau jalanin misi ini !” tiba-tiba Kemal marah “Ini ngga ada kaitannya sama kita !”

“Setuju gue sama Kemal” Medina senada dengan Kemal.

“Gue juga” ucap Rere.

Kondisi di ruang diskusi ini makin ngga kondusif, Ali cuma diem aja karena dia diantara setuju dan ngga setuju, begitu juga dengan gue.

“Tapi jika kita mundur sekarang, siapa yg akan nyelametin temen-temen kita di kampus ?” kata gue “Apa kita bakal ninggalin mereka gitu aja dan jadi korban kebengisan teroris-teroris sialan itu ?”

Kemal, Medina, dan Rere terdiam. Sepertinya mereka mulai mengerti sedikit kenapa kami harus menjalankan misi ini.

“Bagaimana kalo kita panggil Niko kesini, apa alesannya kita harus jalanin misi ini” kata gue. Memang ini harus ada penjelasan tentang misi ini.

“Silahkan” serempak semua temen-temen gue menjawab.

Gue keluar ruangan untuk manggil Niko. Niko pun masuk berbarengan dengan gue. Kita semua pingin ada penjelasan tentang ini.

“Jadi begini teman-teman, kalian tau permainan Soldier Recon ?” tanya Niko sebelum melanjutkan penjelasannya.

“Kami tau” kata Ali “Memang kami sering main itu di Gamezone, bahkan kelompok kami juara nasional untuk perlombaan game itu”. Memang kami berenam sangat adiktif buat game FPS yg satu ini. Bahkan Rere sama Medina juga bisa dibilang ahli.

“Nah, atas dasar itulah kalian terpilih” lanjut Niko, “Statistik kalian diatas rata-rata”

“Hanya dari situ, kalian memilih kami ?” sergah Kemal ngga percaya “Itu kan hanya game, kenapa dikaitkan sama keadaan nyata ?”

“Masih belum selesai, statistik didalamnya memuat keahlian kalian” lanjut Niko “Apa kalian masih memegang ID Card Soldier Recon ?”

Kami semua mengangguk. Kami tersadar kalau kartu memang tidak pernah keluar dari saku celana kami. Kami merogoh saku dan menunjukannya pada Niko.

“Dalam kartu itu, tersimpan data-data kalian, dan data kalian masuk di database ini” kata Niko.

Niko mengeluarkan sebuah card reader dan memasangkannya pada infokus. “Coba pinjam punya lo, Re”

Rere memberikannya pada Niko dan Niko mulai memasukkannya ke alat tersebut. Tak lama, muncul tampilan data diri dan hal-hal lainnya tentang Rere.

“Lihat, kartu ini menyimpan keahlian kalian dalam game ini” lanjut Niko “Sekarang, berikan kartu kalian, mari kita lihat keahlian kalian yg sebenarnya”

Dalam layar tertulis Rere memiliki keahlian untuk menyusun dan mengeksekusi strategi serta ahli dalam menggunakan handgun. Medina memiliki keahlian menggunakan senjata sub-machine gun. Keahlian Frank dalam men­-defuse bom juga terlihat sangat jelas. Keahlian Kemal dalam menggunakan machine gun dan shotgun juga ada. Keahlian Ali dalam menggunakan sniper rifles terpampang jelas. Dan keahlian gue dalam menggunakan knife dan rifles juga terlihat disana.

“Gue baru inget satu hal” cerocos gue, “Senjata dalam Soldier Recon kan disesuaikan sama senjata yg asli”

“Ah, iya bener” kata Ali “Makanya ada banyak device senjata disitu”

“Akhirnya kalian mengerti juga” potong Niko, “Selain itu, meski diantara kalian ada yg datang dari luar Bandung, kalian mengerti seluk beluk Kota Bandung. Gue yakin kalian punya banyak cara untuk sampai ke UNPAR”

“Kemana prajurit yg lain ?” tanya Medina

“Prajurit kami sudah terlalu banyak yg gugur dilapangan dalam berbagai misi pembebasan dan menjaga kedamaian, meskipun ada yg selamat, mereka pulang dalam keadaan cacat” tambah Niko.

Kami sudah tidak bisa mengelak lagi. Kami memang harus menjalankan misi ini, mau tidak mau dan suka tidak suka. Sebuah jalan yg sulit untuk dilalui.

“Terima kasih bro penjelasannya” kata Frank.

“Selow bro” kata Niko, “Semoga sukses dan kalian diijinkan untuk mengakses ruang senjata mulai dari sekarang. Silahkan pilih senjata yg sesuai dengan keahlian kalian”

Kata-kata terakhir Niko mengisyaratkan kami harus menjalankan misi ini. Sepeninggal Niko, kami belum beranjak dari ruang diskusi ini. Pikiran kami bukan hanya bagaimana menyelesaikan misi ini hanya dalam waktu kurang dari 3 bulan, tapi nasib teman-teman kami yg dijadikan sandera di kampus dan baru saja terdengar kalau Puce, selaku pimpinan teroris, sudah mengancam akan membunuh seluruh sandera jika Pak Presiden tidak memberikan kekuasaannya dalam kurun waktu 3 bulan. Jelas, keluarga-keluarga dirumah pasti khawatir.

“Bagaimana ? Pilihannya, kita jalankan misi ini dan gagalkan rencana teroris itu atau tinggalkan misi ini tapi nyawa teman-teman kita jadi taruhannya dan ketentraman Bandung terancam ?” tanya gue, “Gue bakal jalanin misi ini, siapa yg mau ikut gue ?”

Semua diam. Tidak ada yg mengajukan diri dan tidak ada yg mau bergabung. Mereka masih nginget-nginget teman-teman mereka apa jadinya nanti kalo tidak selamat. Gue masih menunggu, jika masih tidak ada, gue akan jalanin misi ini sendirian.

“Jadi, cuma gue sendiri aja nih yang……” kata gue tapi keburu dipotong sama Ali.

“Gue ikut” potong Ali, “Gue mau hajar teroris itu”

Satu persatu yg lainnya ikut bergabung untuk turun di misi ini. Mereka mulai sadar dan ngerti kalo ini memang menjadi permasalahan yg serius dan mereka juga ingin menyelamatkan teman-teman mereka. Secara langsung, Soldier Recon 2nd Gen sudah terbentuk dan siap menjalankan misi ini.

“Mari kita jadi pahlawan, tidak hanya untuk Kota Bandung tapi untuk negeri kita juga” kata gue.

“Yosssshhh” Ali mulai bersemangat.

“Oke sob !” Frank juga sudah mulai setuju.

“Bantai mereka broh !” Kemal sudah berapi-api bahkan sampe bajunya ikut kebakar.

“Ayooo” kata Rere dan Medina serempak.

Kami diantarkan menuju ruang istirahat kami. Rere satu kamar bersama Medina dilantai yg berbeda dengan kami. Gue, Kemal, Frank, dan Ali dimasukkan dalam satu kamar. Di dalam kamar sudah ada berkas-berkas mengenai Puce dan antek-anteknya. Anteknya bukan sembarang antek. Mereka adalah mantan tentara yg menjadi kriminal kelas kakap, yakni Dom, Edge, Vic, dan Bryan. MEREKA HARUS KAMI TUMPAS !!

Kami siap……..untuk menghapus teror di kota kami tercinta…….meski nyawa menjadi taruhannya……..

 

 

To Be Continued……..

Ikhlaskan Cinta

“Anak-anak kelas XI sekarang kumpul dilapangan !!” kata guru gue. Secara serentak, gue dan temen-temen gue langsung pindah lokasi ke lapangan buat pembagian kelas, daripada kena pecut lidi sama guru. Muncul pertanyaan dipikiran gue, sebenernya gue ini seorang siswa apa bebek (?). Pengen nanya sama guru, tapi gue yakin itu lidi mendarat di pantat gue. Kelas pun diumumkan, dan lagi-lagi gue sekelas dengan Frank, Ali, dan Kemal.

Saat yang sama, ada siswa-siswi kelas X yang lagi ospek. Yaa, ngeceng-ngeceng dikit ngga ada salahnya, ngga dosa juga. Kalo dosa, kayaknya gue udah jadi ketuanya di neraka nanti. Ngga lucu juga kan kalo ditanya sama malaikat penjaganya “Kenapa kamu masuk neraka ?”, jawabannya “Kebanyakan ngeceng”, jelas bukan prestasi yang bagus.

Akhirnya ada juga yang menurut gue sreg dihati. Namanya Vira, hasil dari nengok nametag yang dia pake pas itu. Penglihatan gue cukup tajam, bukan? Dia emang baru masuk, tapi udah jadi tradisi dan turun temurun kalo seniornya pasti ngeceng siswi yg baru masuk. Dan sialnya, Vira ini dikeceng ngga hanya sama gue, tapi sama semua siswa laki-laki. Tapi dalem hati gue yakin gue bisa dapet perhatian dan hatinya Vira. Kenapa gue bisa seyakin ini ? Karena gue termasuk orang yg cukup terkenal diantara siswi-siswi sekitar, bukan karena cakep ato keren, tapi gara-gara ketololan gue setiap hari yg mirip pelawak, dan yg cukup disyukuri, gue kadang-kadang jadi tempat curhatan mereka juga karena gue terbilang pendengar yg baik dan mau dengerin keluh kesah percintaan mereka semua meski dalem hati gue ngebatin. Btw, Vira ini rambutnya sebahu, langsing menuju kurus, putih, wah pokoknya cantik dah.

*****

Udah satu minggu gue cari-cari Vira, dan masih belum ketemu kelas dia dimana. Minggu depan berlanjut dengan kegiatan yang sama, begitu pun seterusnya. Menjelang UTS, barulah gue dapet kalo VIra ini siswi kelas X-6. Itupun berawal dari Frank yang tiba-tiba masuk bawa daftar absensi hasil nyolong di ruang tata usaha.

“Woy, gue bawa absensi dari tata usaha nih !!” Frank secara mendadak masuk bawa-bawa absensi.

Jelas gue, Ali, dan Kemal bingung “Buat apaan Frank ? Lo mau mukulin siswa baru?”, kata Ali yang jelas-jelas perkataannya diluar akal sehat karena efek samping minum susu basi jaman SMP.

“Kaga woy”, bantah Frank, “Kita UTS kan bareng sama anak kelas X”

“Tumben pikiran lo bener Frank” kata Kemal dan gue setuju, “Kita sama X berapa nih Frank ?” tanya gue.

“Gue udah itung-itungan dari semua kelas XI dan kelas X, dan kita bareng sama kelas X-6” lanjut Frank, “X-6 kan banyak yg cantik-cantik dan manis-manis”

Entah kenapa, soal yg beginian Frank mendadak cerdas, tapi kalo pelajaran tololnya ngga ada dua. Mereka mulai itung-itungan dan ngira-ngira bakalan duduk sama siapa. Gue diem aja, biar mereka yg ngurusin. Toh belom liat mukanya juga. Tiba-tiba, Ali nyeletuk “Zic, lo kayaknya sebangku sama Vira deh nanti UTS.”

“Vira ? Siapa tuh ?” tanya gue pura-pura ngga tau, dalem hati gue seneng mirip tagline mobil sejuta umat itu loh yg bunyinya “Memang Tiada Duanya”.

“Itu loh, siswi baru yg populer dikalangan laki-laki sekarang, masa lo ga tau ?” cemooh Kemal.

“Ya ya ya, terserah kalian, itu pun masi perkiraan kan ? Bisa aja berubah gimana panitia ujiannya” sergah gue.

“Tumben lo kritis, Zic, hahahha” canda Frank yg langsung gue poles kepalanya pake semir sepatu. Memang hari itu jadi hari dimana kami berempat bisa kumpul bareng sampe sore karena keadaan ngga ada guru dan kena timpuk penghapus papan tulis dari kelas sebelah.

*****

Hari ujian pun tiba. Seperti biasa, gue dateng paling pagi dan duduk di ruang ujian. Selain gue mau sedikit review hasil belajar semalem, gue juga pengen tau siapa kelas X yg bakal sebangku dengan gue. Ga lama kemudian, Frank, Ali, dan Kemal dateng barengan. Mereka mulai duduk dibangku masing-masing dan berharap mendapat rekan sebangku yang mantep. Satu persatu baik temen sekelas gue dan anak kelas X udah pada dateng. Ali duduk dengan cewek, hanya saja badannya gendut. Kemal duduk sama cewek juga cuman entah kenapa dandanannya super menor. Frank malahan sama cowok yg kelakuannya mirip-mirip wanita jadi-jadian yg biasa nongkrong dibawah jembatan. Cuman gue yg masi belom ketemu sama temen sebangku gue. Akhirnya yg ditunggu-tunggu dateng juga. Vira masuk dan langsung nyari-nyari tempat duduknya. Sayangnya gue ngga liat dia dateng karena gue ketiduran gara-gara datengnya kecepetan. Bayangin, ujian jam 8, gue dateng setengah 7.

“Permisi ya kak” sapa Vira kepada gue sembari senyum.

“Oh ya silahkan-silahkan” timpal gue yg entah kenapa lebih mirip penjaga kantin daripada kakak kelas.

Dia pun duduk dan ngga lama kemudian guru pengawas masuk dan mulai membagikan kertas ujian. Ujian dimulai. Ujian dia sebenernya cukup sulit dan gue pengen bantuin hanya saja yg dia selalu tanya itu sekitaran Fisika, Kimia, dan Matematika. Jelas gue ngga bisa bantu, nilai tiga pelajaran itu jeblok semua, yang ada gue cuma jadi perantara dia sama temennya tuker-tukeran kertas contekan, begitu pun sebaliknya. Hari demi hari melakukan kegiatan yg sama, dan pada akhirnya sampai dihari terakhir ujian. Dia ujian Bahasa Sunda, gue Bahasa Arab. Satu demi satu dia perkosa itu soal, yg pada akhirnya sampe di esai. Dia harus nulisin kalimat tapi pake aksara sunda.

“Kak, boleh bantuin ngga kak? Aku ngga ngerti aksara sunda” pinta Vira.

Jelas gue bantu, wong nilai gue 97 untuk Bahasa Sunda dulu, “Boleh-boleh, darimana aku harus bantu?” tanya gue pingin tau. Vira kasi liat soal esainya, dan ternyata semua soal esainya 5 soal nerjemahin aksara dan 5 soal ubah ke aksara. Bukan pekerjaan sulit bagi gue meski ujung-ujungnya gue semua yg selesein soalnya. Dari sinilah, benih-benih cinta mulai muncul di hati gue. Dan yg paling beruntung, gue bisa dapet nomer handphone-nya. NOMER HANDPHONE-NYA. Beres hari ujian, gue mulai coba-coba sms dia dan sering dia bales juga. Pokoknya bagi gue, setelah masa UTS itu jadi hari-hari yg menyenangkan tapi ngga bagi Kemal, Ali, sama Frank, mereka liat gue kayak orang gila yg baru kabur dari RSJ. Dari sms-sms inilah gue mulai tahu kehidupannya Vira sehari-hari. Mulai dari dia ikut ekstrakurikuler paduan suara, masuk jadi anggota OSIS, dan jadi guru les untuk anak-anak SD. Sempurna bagi gue. Vira bener-bener cewek yg gue impikan. Vira bener-bener masuk disetiap lamunan gue dan mimpi-mimpi gue. Pernah pada suatu hari, gue bilang sama Vira kalo gue mimpiin dia dan Vira juga mimpiin gue! Yang bikin beda cuman cerita dimimpinya. Mimpinya Vira, dia dibonceng sama gue hujan-hujanan pake motor. Dimimpi gue, Vira pake baju pesta dan gue pake baju tukang sapu kebon. Miris dan ironis, untungnya hanya mimpi.

Kelakuan gue mulai tambah aneh, mulai dari nungging-nungging diatas kasur sambil mesem-mesem nunggu sms dari Vira. Nyokap gue tau kalo anaknya masih normal dan masi suka cewek tulen dan ngga suka cewek KW. Hari-hari berikutnya, gue mulai berani ngajak dia main meski itu sekedar nonton ato makan bareng dikantin. Bahkan, temen-temennya ngira Vira udah jadian sama gue. Sungguh indah dimana temen-temen gue mulai gigit jari. Vira nyaman sama gue, dan gue nyaman sama dia. Tinggal nunggu waktu aja untuk jadian, dan entah kenapa gue merasa sangat yakin bisa jadian sama Vira. Akhirnya demi terlaksananya impian gue yg satu ini, yaitu bisa jadian sama Vira, gue minta saran dari partner crime gue, siapa lagi kalo bukan Kemal, Ali, dan Frank.

“Eh, lo pada bisa gue mintain saran ga ?” tanya gue sama mereka.

“Bebas Zic, tapi jangan soal kucing, gue kaga ngarti” timpal Frank. Emang pada dasarnya gue punya kucing, “Soal apaan Zic ?”

“Jadi gini bro, gue pingin nembak Vira, ada yg punya ide ngga yg bisa berkesan buat Vira ?” gue nanya kayak gitu.

“Kasih bunga aja sama coklat.” kata Ali.

“Ajak aja ke Bukit Bintang, kan romantis tuh beduaan disitu, barulah lo tembak dia.” saran Kemal.

“Tembak pas lagi sendiri aja Zic, pas lagi di ruang ganti.” kata Frank yg jelas langsung gue ceburin kolam. Pikirannya emang ngga beres akhir-akhir ini.

“Yaudah gini aja, gimana kalo lo gabungin saran dari Kemal sama Ali ? Mantep juga tuh” kata Frank sambil megap-megap minum air kolam.

“Cerdas juga lo Frank, oke deh kalo gitu. Thanks bro.” kata gue, “Sekalian doain gue bro, mudah-mudahan ntar malem lancar”.

*****

Malam yg ditunggu pun tiba. Vira gue ajak nonton bioskop yg dilanjutin dengan makan malem. Sambil makan, kita ngebahas soal film animasi 3D yg kita tonton tadi. Lucu, tapi ada kisah romantisnya.

“Eh film-nya lucu ya tadi, kocak parah” kata Vira.

“Iya, ngga nyangka makhluk-ijo-yg-matanya-lima itu ternyata banci” sahut gue.

“Makhluk-ijo-yg-matanya-lima lah, hahahaha, itu namanya Maurice tau.” tawa Vira ngedenger candaan gue.

“Abis aku suka lupa namanya siapa, yg aku inget cuman bentukannya doang.” timpal gue.

“Eh meski begitu, dia rela berkorban loh, dia rela mati buat Sapphire.” kata Vira.

“Iya, kan ada adegannya dia bilang sama Sapphire kalo dia suka, tapi dia tau kalo dia ngga akan bisa jadi lakinya Sapphire, ujungnya nitip sama Marco buat jagain Sapphire.” sambung gue

“Iyaaaaaaa,,,itu sedih bangeeettt disituu, aku aja sampe nangis tau pas bagian ituuu.” Sembari ngambil tisu, “Tuhkan aku nangis lagi.”

Gue pun menyeka air matanya. Sungguh itu membuat gue menjadi tambah keren didepannya.

“Mmmm,, kak, kita diliatin orang2 loh”, kata dia. Jelas muka gue berubah merah. Merah banget. Udah cocok buat jadi lakon difilm Hell Boy, ngga perlu riasan lagi.

“Eh kita mau lanjutin kemana nih ?” tanya gue, “Aku ngikutin aja deh, gimana kamu aja”

“Kita ke Bukit Bintang yuk kak!” ajak Vira “Aku belom pernah kesana soalnya”

“Baiklah” sahut gue “Yuk kalo begitu”

Meluncurlah kita berdua ke Bukit Bintang. Bukit Bintang emang jadi tempat paling kesohor buat yg lagi nge-date. Bersyukurlah gue sudah melewati masa-masa yg bisa gue bilang “Masa Jahiliyah”. Di jalan kita ngga kyk org yg lagi nge-date. Yang ada kita berdua senewen, entah kenapa ke arah dago atas jadi macet banget. Entah karena emang daya tariknya tinggi ato emang ada si komo lewat. Kurang lebih satu jam, perjuangan gue akhirnya terbayarkan.

“Akhirnya sampe jugaaaaaa”, kata gue yg udah ngos-ngosan dan pegel-pegel.

“Iyaaa,, untungnya cerah yah disini kak,,bintangnya banyak lagii”, Vira kesenengan “Kenapa kak ?” tanya Vira tiba-tiba.

Sontak gue kaget. Gue ketauan kalo gue lagi ngeliatin dia. Mau bohong juga uda ketauan duluan, ah yasudahlah…..

“Ngga ada apa-apa kok Vir”, kata gue, “Eh mau minuman anget ga ? Lumayan dingin loh disini”, tawar gue. Disini emang cukup dingin, dan jaket gue dipake Vira soalnya dia cuman pake cardigan doang. Gue kedinginan setengah mampus. Kelamaan disini kayaknya bisa bikin gue hipotermia.

“Aku mau susu yah kak”, pinta dia “Aku kan lagi masa pertumbuhan”

“Baiklah, nona maniis”, timpal gue.

AKhirnya gue beli satu susu anget dan satu kopi. Emang gue kelakuannya udah mirip sama tukang ojek, malem-malem minum kopi. Sembari minum kopi, gue lagi-lagi merhatiin Vira lagi. Dan jujur, Vira cantik malem itu. Sangat cantik. Dalem hati gue, gue harus jadiin Vira cewek gue, apapun yang terjadi. Gue mulai cari-cari coklat sama bunga yg mau gue kasiin ditas, tapi ngga ada. Gue mendadak panik, coklat yg gue siapin ngga ada dan akhirnya gue inget kalo itu coklat dihajar abis sama Kemal sama Ali. Bunga juga abis, dimakanin sama Frank yg ngga kebagian coklat. Yang gue dapet malahan kartu remi yg sering gue mainin sama Kemal, Ali, dan Frank. Tapi ngga sampe disitu, gue punya trik sama kartu ini.

“Eh Vir, aku punya cerita dari kartu nih, mau liat ga ?”, tawar gue, mudah-mudah ngga garing ini triknya.

“Boleh-boleh, cerita kayak apaan kak ?”, Vira mulai penasaran.

“Ehem,ehem,,, jadi gini, dulu hidup seorang pangeran yg dikutuk jadi katak. Dia harus nyari putri yg emang bener tulus cinta sama dia. Udah 4 taun dia cari-cari, dan akhirnya ketemu. Coba kamu cium kartunya”, Vira cium kartunya dan gue melanjutkan kisahnya

“Nah, sekarang katak itu udah jadi pangeran, tapi bentuknya masih kartu. Coba kamu cium sekali lagi.”, pinta gue dan Vira cium kartunya sekali lagi. Gue masih inget itu kartu Jack Sekop.

“Sekarang kamu cari kartu Jack Sekop itu.” pinta gue.

Vira mulai cari-cari tapi ngga ada. “Ngga ada kak kartunya”, Vira ngeliat disaku gue, ada kyk corak kartu dan dia ambil. Vira liat dan gambar kartu itu Jack Sekop.

“Kok ada disaku kakak ?” dia penasaran “Kak…..”

“Aku suka sama kamu Vir” potong gue “Gue bolehkan jadi pangeran hati kamu…..”

Vira kaget jelas. Diem seribu bahasa.

“Tapi ada syaratnya kak….”, kata Vira

“Apa itu ?”, tanya gue. Baru nyadar gue kalo mau pacaran aja ada syaratnya. Udah kayak ngelamar kerja.

“Syaratnya, aku boleh jadi putri kakak..”, sembari senyum-senyum malu.

Gue kesenengan. Seneng banget sampe-sampe mau loncat ke depan tapi ditahan Vira karena dia bingung yg nanti siapa yg nganterin dia pulang. Dan resmilah gue jadi pacar Vira malem itu. Malem semakin larut dan akhirnya kita berdua pulang. Sampe rumah, gue bener-bener ngga bisa tidur, entah karena terlalu seneng ato emang gara-gara kopi yg gue minum yg ternyata kopi joss, kopi campur arang panas.

Disekolah, gue sampein kabar gembira ini ke Frank, Ali dan Kemal. Mereka ikut seneng, meski sebenernya mereka sirik parah. Apalagi Frank yg kecengannya ditikung sama abang-abang ojek yg tampangnya mirip Nicholas Saputra. Kehidupan gue lebih berwarna dengan hadirnya Vira.

*****

Hubungan gue sama Vira pada awalnya baik-baik aja, namun ngga bisa bertahan lama. Gue putus sama Vira dibulan ke-10. Bukan karena gue terlalu cuek atau dianya, tapi emang karena dia yg ninggalin gue. Ngga dia ngga mati. Dia pindah sekolah karena bapaknya dinas ke Karawang. Awalnya kita sepakat buat LDR, toh LDR cuman modal pulsa doang, tapi itu ngga cukup. Vira butuh perhatian dan dia emang udah menemukan yg pas.

“Jadi, kita putus aja ?”, tanya gue yg dalem hati yg emang sebenernya ngga mau putus.

“…..Iya kak….Maaf…Aku tau ini berat, tapi….”, kata Vira sambil menangis.

“Udah cup2,, ngga usah nangis, aku ngerti kok”, kata gue.

“Tapi kakak….gimana sama kakak nanti ?”, tanya dia. Dia khawatir sama gue.

“Aku bakal baik-baik aja kok, tenang aja. Meski gue udah ngga jadi pacar kamu.” kata gue supaya dia ngga khawatir.

“Bener ya kak…..”, Vira udah berhenti nangis.

Kehidupan gue emang sedikit galau semenjak putus dari Vira. Untungnya, Vira masih sering curhat-curhat ke gue. Gue pernah bilang sama Vira kalo dia cocoknya jadi adik gue dan dia setuju kalo gue jadi kakaknya. Akhirnya gue bilang sama bokap gue buat nikahin ibunya Vira. Yang ada, bokap gue siapin tali dan pas gue tanya buat apaan beliau cuma bilang, “Buat gantung kamu, nak. Udah ngaco kamu.” Untungnya niat itu tidak terlaksanakan karena talinya dipake nyokap buat jemur pakaian.

Gue beruntung punya temen-temen sejenis Ali, Kemal, dan Frank yg ngehibur gue meski diawalnya tetep ngejek dulu. Tapi disisi lain, gue tetep ngga bisa ngelupain Vira. Emang cuma dia yg bisa untuk bikin hidup gue lebih berwarna. Gue menyadari kalo di dunia ini sifatnya ngga ada yg abadi.